Josep Situmorang (dalam Surajiyo, 2005:84) menyatakan bahwa bebas nilai
artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat
ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal
yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Surajiyo menjelaskan ada tiga
faktor yang dapat digunakan sebagai indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas
nilai, yaitu:
a.
Ilmu harus bebas dari pengandaian, yakni bebas dari pengaruh
eksternal seperti faktor politis, ideologi, agama, budaya, dan unsur
kemasyarakatan lainnya.
b.
Perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu
pengetahuan terjamin.
c.
Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang
sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri
bersifat universal.
Pembahasan aksiologi menyangkut masalah kegunaan
ilmu secara transparan. Berkaitan dengan masalah moral dan ekses ilmu dan
teknologi menurut Suriasumantri (2009:235), ilmuwan terbagi dalam dua golongan,
yaitu:
a.
Golongan yang menginginkan bahwa ilmu harus bersifat
netral terhadap nilai-nilai baik itu
secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah
menemukan ilmu pengetahuan dan terserah kepada orang lain yang mempergunakannya:
apakah akan digunakan untuk tujuan yang baik atau tujuan yang buruk. Golongan
ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total seperti pada waktu
era Galileo.
b.
Golongan yang kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu
hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan pada penggunaannya, bahkan
pada pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan
asas-asas moral. Ilmu tidak bebas nilai, artinya
pada tahap-tahap tertentu ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai moral dan budaya
masyarakat sehingga nilai kegunaan ilmu itu dapat dirasakan untuk meningkatkan
kesejahteraan bersama, bukannya bencana. Golongan ini berdasarkan
beberapa hal, yaitu (a) ilmu secara faktual telah dipergunakan secara
destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang
menggunakan teknologi keilmuan, (b) ilmu telah berkembang dengan pesat dan
semakin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses
ilmu yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan, (c) ilmu telah
berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan ilmu dapat mengubah
manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika
dan teknik perubahan sosial (sosial
engineering).
Penerapan
dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai
pertimbangan. Tanggung jawab etis merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun
penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tentu saja penggunaan ilmu-ilmu tersebut harus berlandaskan moral.
Penggunaan ilmu harus positif yaitu untuk meningkatkan derajat kehidupan
manusia. Seperti kita ketahui sekarang ini banyak ilmu yang digunakan untuk kepentingan politik tertentu seperti
pembuatan bom atom. Berita yang sedang hangat dibicarakan baik di jejaring
sosial maupun media massa adalah kekacauan di Israel dan Palestina. Banyak
korban terus berjatuhan, kerugian material dan non-material yang tidak sedikit membuktikan
bahwa pemahaman terhadap asas pemanfaatan ilmu pengetahuan (aksiologi) sangat
diperlukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Referensi
Surajiyo. (2005). Ilmu filsafat suatu pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Jujun S.
Suriasumantri. (2009). Filsafat ilmu: sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
bagus semoga bermanfaat , izin kopas ya umi
BalasHapus