Kata ‘politeness’ dapat diartikan ‘kesopanan’. Meski sering disejajarkan
dan dipasangkan, kata sopan dan kata santun memiliki arti yang berbeda. Kamus
Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata sopan
sebagai sifat hormat dan takzim serta tertib menurut adat yang baik. Sementara
itu, kata santun berarti sifat halus
dan baik budi bahasanya serta tingkah lakunya. Dengan demikian, sopan santun dapat diartikan sebagai
sifat hormat, tertib pada norma yang berlaku, halus dan baik budi bahasa, serta
baik perilakunya. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki sopan santun adalah
seseorang yang hormat, tertib pada norma yang berlaku, halus dan baik budi
bahasa, serta baik perilakunya.
Yatim (1983:10)
menjelaskan bahwa honorifik merupakan bentuk-bentuk kebahasaan yang digunakan
untuk menyatakan rasa hormat dalam aturan-aturan yang bersifat psikologis dan
kultural. Kridalaksana (2008:85) mendefinisikan honorik sebagai suatu bentuk
lingual yang dipakai untuk menyatakan penghormatan, yang dalam bahasa tertentu
digunakan untuk menyapa orang lain. Bentuk lingual yang dimaksud bisa berupa
aturan gramatikal yang kompleks seperti dalam bahasa Jepang yang ditandai
adanya afiksasi. Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, honorifik
berkenaan dengan penggunaan ungkapan penghormatan dalam bahasa untuk menyapa
orang tertentu. Berdasarkan
beberapa definisi di atas, bentuk honorifik dapat dikatakan sebagai bentuk
untuk menyatakan sikap kesopanan dengan tujuan untuk menghormati lawan bicara. Berikut ini beberapa contoh
honorik berbagai bahasa.
1.
Honorifik dalam Bahasa Inggris:
Yule (1996: 60) mencontohkan
honorifik dalam Bahasa Inggris sebagai berikut.
(a) Excuse me, Mr. Buckingham, but can I talk to you for a minute?
(b) Hey, Bucky, got a minute?
Kalimat (a) dianggap lebih sopan
dan lebih memiliki rasa hormat yang tinggi dibandingkan kalimat (b) meski
maksud dari kedua kalimat tanya tersebut sama.
2.
Contoh
Honorifik dalam Bahasa Jawa:
[ko[warepMev=qenDi Kowe arep lunga menyang
ngendhi? (a)
sm[PynHje=[kshdte=punDi Sampeyan ajeng kesah
dhateng pundhi? (b)
pnJeneqnB[dtindkDte=punDi Panjenengan badhe tindhak dhateng pundhi?
(c)
Ketiga kalimat
tanya tersebut memilik arti yang sama yaitu Kamu/Anda
mau pergi ke mana?. Namun, berdasarkan tataran bahasa jawa tingkat
kesopanan ketiga kalimat tersebut berbeda. Kalimat (c) dianggap paling sopan
apabila dibandingkan dengan kalimat (b) dan (a). Sementara itu, kalimat (b)
dianggap lebih sopan dibandingkan dengan kalimat (a). Dalam hal ini, honorifik
dalam Bahasa Jawa sangat jelas bisa dilihat karena Bahasa Jawa mengenal aturan
kebahasaan yang disebut unda usuking basa. Aturan tersebut
berupa tataran tingkatan kesopanan dan bentuk penghormatan yang bertumpu pada
lawan bicara. Ngadiman (2011) menjelaskan bahwa secara garis besar, ada empat
tataran Bahasa Jawa yaitu kasar, ngoko, madya, dan krama.
a.
Kasar
Basa
jawa kasar
adalah bahasa yang tingkat kesopanannya
paling rendah. Bahasa ini biasanya
dipergunakan oleh orang yang tidak berpendidikan, tidak punya sopan santun, sedang marah,
atau meremehkan orang lain. Biasanya kosa kata bahasa ini cenderung kasar dan tabu. Nada bicara pemakai basa Jawa kasar
dengan suara tinggi dan dibarengi ada hentakan (bentakan). Posisi tubuh
pembicara tidak menunjukkan
rasa simpatik dan terlihat sombong.
b.
Ngoko
Tingkat tutur ngoko
mencerminkan rasa akrab (solider) antara pembicara dan mitra bicara. Artinya,
pembicara tidak memiliki rasa segan, hormat,
atau rasa pakewoh (sungkan) terhadap
mitra bicara. Orang yang ingin menyatakan keakraban terhadap mitra bicara, atau
sesamanya, tingkat ngoko inilah yang tepat untuk dipakai.
c.
Madya
Tingkat tutur madya
adalah tingkat tutur menengah antara ngoko dan krama. Tingkat tutur ini
menceminkan rasa sopan. Tingkat tutur ini semula
adalah tingkat tutur krama tetapi sudah mengalami penurunan atau perkembangan
yang lebih rendah statusnya, yang sebut kolokialisasi (menjadi bahasa
sehari-hari yang tidak formal, atau perubahan dari formal menjadi tidak formal).
Oleh karena itu, bagi kebanyakan orang tingkat madya ini disebut setengah
sopan. Orang yang disapa dengan tingkat tutur ini biasanya orang yang tidak
begitu disegani atau tidak sangat dihormati. Sebagai contoh, Sampeyan ajeng kesah dhateng
pundhi?
d.
Krama
Tingkat tutur krama ialah
tingkat tutur yang mencerminkan sikap sopan santun. Tingkat tutur ini
menandakan adanya tingkat segan, sangat menghormati, bahkan takut. Seorang
pembicara yang menganggap bahwa mitra bicaranya orang yang berpangkat,
berwibawa, belum dikenal, akan menggunakan tingkat tutur ini. Murid terhadap
guru, seorang bawahan kepada atasan.
3.
Contoh
Honorifik dalam Bahasa Indonesia:
(a) Apakah ada yang ingin kamu tanyakan?
(b) Apakah ada yang ingin Anda tanyakan?
(c) Apakah ada yang ingin Saudara tanyakan?
Dari ketiga kalimat tanya di atas,
dapat dilihat penggunaan kata ganti orang kedua yang berbeda memberikan tingkat
kesopanan dan rasa hormat yang berbeda pula. Contoh lain sebagai berikut.
(a) Dia pergi lima menit yang lalu.
(b) Beliau pergi lima menit yang lalau.
Dari kedua kalimat di atas, dapat
dilihat penggunaan kata ganti orang ketiga yang berbeda memberikan tingkat
kesopanan dan rasa hormat yang berbeda pula. Contoh lain sebagai berikut.
(a) Maaf Pak, mohon izin ke belakang.
(b) Maaf Pak, mohon izin ke kamar kecil.
(c) Maaf Pak, mohon izin ke toilet.
(d) Maaf Pak, mohon izin ke WC.
Keempat
kalimat di atas memiliki maksud yang sama tetapi kalimat (a) dianggap
paling sopan dibandingkan ketiga kalimat yang lain.
Referensi:
George Yule.
1996. Pragmatics. Oxford: Oxford
University Press.
Harimurti Kridalaksana. (2008).
Kamus linguistik
(ed. ke-4).
Jakarta: Gramedia.
Ngadiman,
Agustinus. 2011. http://www.adjisaka.com/kbj5/index.php/01-makalah-kunci/689-09-tingkat-tutur-bahasa-jawa-wujud-kesantunan-manusia-jawa (diunduh
pada 12 Maret 2013).
Yatim,
Nurdin. 1983. Subsistem honorifik bahasa makasar: sebuah analisis sosiolinguistik. Ujung
Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian.
Komentar
Posting Komentar