Sosiolinguistik merupakan salah satu
disiplin ilmu yang membahas penggunaan bahasa dalam masyarakat sosial.
Sosilinguistik akan memberikan uraian dasar yang terdiri dari: konsep dasar
sosiolinguistik itu semdiri, masyarakat tutur, variasi bahasa, kedwibahasaan,
diglosia, pemilihan bahasa, alih kode dan campur kode, sikap bahasa, pergeseran
dan pemertahanan bahasa, etnografi komunikasi, serta penerapannya dalam
analisis pemakaian bahasa dalam konteks sosial budaya di masyarakat. Pada bagian ini akan dibahas mengenai integrasi,
pidgin, kreol, dan diglosia.
A. Integrasi
Bahasa
Mackey
(dalam Abdul Chaer:128) mendefinisikan integrasi sebagai masuknya unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam
bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi warga bahasa tersebut (tidak
dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan). Penerimaan unsur bahasa lain dalam bahasa
tertentu membutuhkan waktu dan tahap yang cukup lama. Proses integrasi ini
biasanya diawali ketika suatu bahasa tidak memiliki padanan kata yang ada di
dalam bahasa lain tersebut atau bisa saja ada padanannya namun tidak diketahui.
Keadaan itu akan berdampak pada proses peminjaman bahasa dari bahasa
lain/bahasa asing. Apabila unsur pinjaman tersebut sudah bersifat umum atau
bisa diterima dan dipergunakan oleh sebagian besar masyarakat maka barulah
bahasa tersebut bisa dikatakan sudah terintegrasi dengan bahasa yang
dimasukinya.
Proses
pengintegrasian bahasa biasanya mengalami tahapan penyesuaian dengan bahasa
yang dimasukinya. Bentuk penyesuaiannya dapat berupa perubahan fonem yang
nantinya juga mengakibatkan perubahan bunyi sesuai dengan bunyi-bunyi atau
jenis kata yang ada dan biasa diucapkan di dalam bahasa yang dimasukinya. Untuk
bahasa Indonesia, bahasa asing yang integrasikan biasanya disesuaikan ejannya
dengan Pedoman Umum Pembentukan Istilah dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
yang disempurnakan, contohnya kata research
dalam bahasa Inggris yang diintegrasikan ke dalam bahasa Indonesia dan diubah
menjadi kata riset.
B. Pidgin
Pidgin merupakan sebuah bahasa yang tidak memiliki penutur asli (native speaker). Pidgin berkembang sebagai alat komunikasi antara
orang-orang yang tidak memiliki bahasa yang sama. Pada awalnya pidgin
berkembang dalam fungsi yang sempit. Mereka yang menggunakan pidgin juga
memiliki bahasa lain sehingga
dapat dikatakan bahwa pidgin merupakan
bahasa tambahan yang digunakan untuk tujuan tertentu seperti dalam perdagangan
atau administrasi.
Pidgin diciptakan dari usaha orang-orang yang memiliki bahasa
yang berbeda. Karena pidgin berkembang untuk melayani fungsi jangkauan yang
sangat sempit dalam domain yang terbatas, pengguna bahasa pidgin ini cenderung
untuk menyederhanakan struktur dan menggunkaan kosakata yang sedikit.
Kata-katanya umumnya tidak memiliki infleksi (perubahan pada grammar atau
ucapan) untuk menandai. Contohny dalam bahasa Inggris, kata jamak atau waktu
(tenses) kata kerja tidak digunakan.
Penyederhanaan bahasa pidgin terlihat sekali pada aspek
tatabahasa dan pelafalannya. Pidgin tidak memiliki gender tatabahasa pada
sistem kata benda dan tidak memiliki akhir persetujuan kata benda-kata kerja.
Waktu dan aspek diungkapkan dengan kata-kata yang terpisah daripada dengan
akhiran. Pelafalan cenderung pada pola konsonan diikuti oleh vowel dan cluster
(kelompok) lebih dari satu konsonan cenderung dihindari. Pidgin cenderung untuk
mengurangi isyarat grammar. Hal ini memudahkan pembicaranya untuk belajar dan
menggunakannya, walaupun hal ini memberi ‘beban lebih’ pada pendengarnya. Pidgin bukanlah bahasa para kelas atas
atau bahasa yang bergengsi, dan bagi
mereka yang tidak menggunakannya, bahasa ini terdengar menggelikan. Contohnya
bahasa Tok Pisin (pidgin talk),
sebuah pidgin Melanesia Inggris dari Papua New Guinea). Ada
3 ciri-ciri bahasa pidgin seperti di bawah ini.
1.
Digunakan dalam fungsi dan domain yang terbatas
2.
Memiliki struktur yang sederhana dibandingkan dengan bahasa
sumbernya.
3.
Memiliki
gengsi rendah dan menarik sikap negatif-khususnya
dari orang luar.
C. Kreol
Kreol adalah pidgin yang memiliki penutur
asli (native-speaker). Banyak dari
pidgin ini yang kemudian menjadi kreol. Bahasa ini digunakan oleh anak-anak
sebagai bahasa pertama mereka dan digunakan dalam jangkauan domain yang luas.
Salah satu contohnya adalah Tok Pisin yang telah digunakan sebagai bahasa
pertama oleh sejumlah besar penutur dan telah berkembang sesuai dengan
kebutuhan linguistik. Selain berkembang sebagai
bahasa pertama, kreol juga berbeda dari pidgin dari segi fungsi dan
strukturnya. Kreol merupakan pidgin yang telah mengalami perluasan dalam segi
struktur dan kosakatanya untuk mengungkapkan makna atau fungsi yang serupa yang
diperlukan oleh sebuah bahasa pertama. Kreol
muncul ketika bahasa pidgin menjadi bahasa ibu dari sebuah generaasi
baru anak-anak. Misalnya ketika seorang pria dan seorang wanita yang memiliki
bahasa yang berbeda menikah, keduanya tahu bahasa pidgin dan belajar bahasa
pasangannya.
D. Diglosia
Diglosia merupakan istilah yang digunakan untuk
mengklasifikasikan situasi komunikasi dalam masyarakat yang membuat penggunaan
pelengkap pada pertukaran sehari-hari dari dua kode yang berbeda, baik dua
variasi bahasa yang berbeda ataupun dua bahasa. situasi tertentu mengisyaratkan
penggunaan salah satu kode tersebut, bahasa A pada pelarangan bahasa yang lain,
bahasa B, yang mana hanya dapat digunakan dalam situasi dimana bahasa pertama
dilarang.
Perlu
ditekankan bahwa penggunaan yang lebih disukai dari istilah ini mengacu pada
masyarakat dimana perbedaannya ditandai secara khusus dan sering di sokong
dalam penggunaan variasinya (contohnya, bahasa standar/patois, Katharevusa/Demotic
di Yunani dan Prancis/kreol di mayoritas area pembicaraan kreol Prancis).
Umumnya, situasi diglosia ini merupakan situasi konflik bahasa dimana satu dari
bahasa tersebut diistilahkan dengan variasi/ragam ‘tinggi’ bertentangan dengan
yang lain yang dianggap ‘rendah’ yang mana yang pertama digunakan dalam situasi
komunikasi yang dianggap ‘ningrat’ (menulis,
penggunaan formal, dan
lain-lain) dan yang berikutnya
digunakan dalam keadaan yang lebih informal (misalnya percakapan
dengan keluarga dekat). Faktor-faktor yang mempengaruhi situasi diglosia
menurut Sumarsono (2004: 199) antara lain partisipan, suasana, dan topik. (21.52)
Referensi:
Abdul Chaer dan Leoni Agustina.
(2010). Sosiolinguistik (perkenalan awal).
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sumarsono dan Paina Partana. (2004). Sosiolinguitik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Artikel info akan lebih baik jika dilengkapi dengan contoh situasi kebahasaan serta penyebabnya
BalasHapus