Hakikat
Kata Sapaan
Kridalaksana (1982 :14)
menjelaskan bahwa kata sapaan merujuk pada kata atau ungkapan yang dipakai
untuk menyebut dan memanggil para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa. Adapun pelaku yang dimaksud merujuk pada
pembicara, lawan bicara, serta orang yang sedang dibicarakan. Berdasarkan
definisi yang dikemukakan oleh Kridalaksana diketahui bahwa terdapat dua unsur
penting dalam sistem tutur sapa, yaitu kata atau ungkapan dan para pelaku dalam
suatu peristiwa bahasa. Kata atau ungkapan yang digunakan dalam sistem tutur
sapa merujuk pada kata sapaan. Adapun para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa
merujuk pada pembicara dan lawan bicara. Kata sapaan berfungsi untuk
memperjelas kepada siapa pembicaraan itu ditujukan.
1.
Kata
Sapaan dalam
Bahasa
Indonesia
Kridalaksana
menggolongkan kata sapaan dalam bahasa Indonesia menjadi sembilan jenis, yaitu:
(1) kata ganti, seperti aku, kamu, dan
ia; (2) nama diri, seperti Ridan dan Umi; (3) istilah kekerabatan, seperti bapak dan ibu; (4) gelar
dan pangkat, seperti dokter dan guru; (5) bentuk pe+V(erbal) atau kata
pelaku, seperti penonton dan pendengar; (6) bentuk N(ominal) + ku seperti kekasihku dan Tuhank; (7) kata deiksis atau penunjuk,
seperti sini dan situ; (8) kata benda lain, seperti tuan dan nyonya; serta
(9) ciri zero atau nol, yakni adanya suatu makna tanpa disertai bentuk kata
tersebut.
Dalam bahasa Indonesia,
kata sapaan yang digunakan pembicara dalam menyapa lawan bicaranya bervariasi.
Meskipun demikian, jenis kata sapaan yang paling banyak digunakan adalah
istilah kekerabatan (Kridalaksana, 1982:193). Pemilihan suatu bentuk kata
sapaan dipengaruhi oleh dua faktor, yakni status dan fungsi. Status dapat
diartikan sebagai posisi sosial lawan bicara terhadap pembicara. Status ini
juga dapat diartikan seebagai usia. Adapun fungsi yang dimaksud adalah jenis
kegiatan atau jabatan lawan bicara dalam pembicaraan.
2.
Kata
Sapaan dalam Bahasa-Bahasa di Eropa
Berdasarkan penelitian
yang dilakukan pada pengguna bahasa-bahasa Eropa, seperti bahasa Prancis,
Jerman, Italia, dan Spanyol, Fasold (melalui Anisa Rahmania, 2009:5)
menjelaskan bahwa Brown dan Gilman menemukan pemilihan kata ganti orang kedua
yang digunakan pembicara kepada lawan bicaranya dipengaruhi oleh dua faktor,
yakni kekuasaan (power) dan
solidaritas (solidarity). Adanya
kekuasaan serta solidaritas di antara pembicara dan lawan bicara memunculkan
dua bentuk kata ganti orang kedua. Pertama, Vos,
selanjutnya disebut V, digunakan
untuk menyapa lawan bicara yang kedudukannya dianggap lebih tinggi dibandingkan
pembicara. Kedua, Tu, selanjutnya
disebut T, digunakan untuk menyapa
lawan bicara yang kedudukannya dianggap lebih rendah dari pembicara.
3.
Kata
Sapaan dalam Bahasa Inggris Amerika
Ervin Tripp (melalui
Rahmania, 2009:7-10) melakukan penelitian terhadap kata sapaan yang digunakan
oleh penutur bahasa Inggris Amerika. Kata sapaan yang digunakan tersebut
merujuk pada kata ganti orang kedua. Dari penelitiannya tersebut, ditemukan
bahwa dua kaidah yang harus ada dalam penggunaan kata sapaan, yaitu kaidah
alternasi dan kaidah kookurensi.
Kaidah alternasi
merupakan kaidah yang berkaitan dengan cara menyapa. Kaidah ini berhubungan
dengan digunakannya suatu bentuk kata sapaan berdasarkan faktor-faktor yang
mempengaruhinya seperti situasi yang ditandai oleh status, pangkat, dan
perangkat identitas. Kaidah kookurensi adalah kaidah kemunculan bersama bentuk
sapaan dengan bentuk lain seperti struktur bahasa yang tepat sesuai dengan kata
sapaan yang digunakan selama pembicaraan berlangsung. Misalnya, seorang pegawai
yang sedang berbicara dengan atasannya akan menggunakan bentuk sir.
4.
Kata
Sapaan dalam Bahasa Tondano
Penelitian tentang kata
sapaan bahasa Tondano yang dibuat oleh Siska Rambitan (2010) menyatakan bahwa
pada umumnya kata sapaan bahasa Tondano tidak mengenal gender, seperti puyun
(cucu) dan panaken (keponakan). Untuk membedakan antara laki-laki
dan perempuan ditambahkan kata wewene dan tuama dibelakang kata
tersebut, sebagai contoh:
a.
Puyunku wewene maa’me
waki tetekelan.
Cucuku perempuan
menangis di tempat tidur.
b.
Teakan puyunku tuama
umurou 2 tahun.
Hari ini cucuku
laki-laki berusia 2 tahun.
c.
Panakenku wewene
masekola waki wenang.
Keponakanku perempuan
sekolah di kota.
d.
Panakenku tuama tumiba
rano waki parigi.
Keponakanku
laki-laki menimba air di sumur.
Dalam bahasa Tondano terdapat pula kata sapaan yang
sama untuk gender yang berbeda, seperti kata kaawu atau ampit untuk
menyebut isteri atau suami, dan manuang untuk menyebut orang tua menantu
atau anak menantu. Untuk mengetahui apakah suami atau isteri yang dimaksud,
atau orang tua menantu atau anak menantu yang dimaksud, dapat diketahui melalui
konteks kalimat. Sebagai contoh:
a.
Kaawuku malutu’ rano
waki awu.
Istriku/ suamiku
memasak air di dapur.
b.
Woodo manuangku tumeles
labung waki toko.
Esok
mertuaku/ menantuku membeli baju di toko.
Referensi:
A.
Rahmania. (2009). Kata sapaan.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Harimurti Kridalaksana.
(1982). Dinamika tutur sapa dalam bahasa indonesia. Jakarta: Bhratara.
Komentar
Posting Komentar