PARADOKS AGAMA SEBUAH KELUARGA


Sebuah Catatan di Bulan Mei

Ini pengalaman yang sungguh aneh.  Kejadian ini saya alami 10 Mei 2013 hari Jumat tepatnya. Seorang tamu merasa dirugikan karena terganggu suara alat tukang kayu yang sedang membuat perkakas di bagian dapur hotel.  Hal ini membuat bayi tamu tersebut terbangun dan menangis. Tamu tersebut kemudian komplain dan meminta ganti rugi bill-nya dikembalikan karena merasa kenyamanannya terganggu.
Sontak saja hal ini dimentahkan oleh managemen hotel karena tamu sudah memanfaatkan berbagai fasilitas hotel. Singkat cerita, si tamu ini marah-marah tanpa kendali, memaki-maki tanpa sopan-santun, bersuara keras, dan menggebrak meja seperti orang yang tidak pernah diajari tata cara bermasyarakat. Pihak hotel sudah meminta maaf atas ketidaknyamanan dan akan mengembalikan 20% dari total bill tersebut. Akan tetapi, hal ini ditolak mentah-mentah dan meminta bill dikembalikan utuh (dengan menyumpah-nyumpah dalam bahasa yang saya tidak tahu artinya). Akhirnya, agar tidak menimbulkan keributan yang berkepanjangan, bill dikembalikan utuh dan tamu ini langsung pergi.
Saya ingin berbagi pengalaman mengenai kejadian ini. Keluarga ini datang malam sebelumnya dengan keluarganya sekitar pukul 22.00 WIB (Si Bapak, Si Istri dengan bayi 10 bulan, dan dua anak laki-laki berusia SD dan SMP). Pada awalnya, saya menerima dengan suka cita seperti biasanya. Ditilik dari pakaiannya, tentu keluarga ini sangat agamis. Celana yang dikenakan di atas mata kaki dan berbaju koko. Kedua anaknya memakai baju biasa tapi di kepalanya memakai topi semacam topi baret tentara. Sang istri menggunakan jilbab yang sangat lebar sehingga saya hampir tidak tahu bahwa dia membopong seorang bayi. Kekagetan pertama saya ketika Si Bapak menyerahkan identitas KTP Sang Istri. KTP tersebut tidak menggunakan kerudung. Dari sini saya jadi berpikir apakah wanita ini adalah istri poligami kesekian? Secara logika, jika dia hidup bersama suami yang notabene memiliki cara hidup seperti itu tidak mungkin istrinya tidak berkerudung. Apalagi jika ditilik anak laki-laki yang pertama berusia 14-an tahun.
Hal kedua yang menjadi aneh bagi saya adalah sikap hidupnya. Meskipun pada dasarnya kita tidak dapat menyalahkan pilihan hidup seseorang. Akan tetapi, hal ini tampaknya perlu menjadi perhatian karena sangat mencolok. Si Bapak ini katanya dalam uraian kemarahannya tadi menyebutkan betapa dia tahu banyak ilmu agama, tahu banyak ajaran nabi. Akan tetapi, mengapa dia bisa berkata dan berperilaku demikian kasar dan tidak normatif di tempat umum (terutama di hadapan anaknya). Bukankah nabi sendiri mengajarkan untuk bersikap lemah lembut dan tidak gampang marah? Kedua, nabi Muhammad SAW selalu mengajari umatnya untuk saling memaafkan dan bersikap rendah hati. Tapi Si Bapak ini dengan arogannya mengatakan bahwa kesalahan ini tidak dapat ditolerir sehingga uangnya harus dikembalikan (tidak sadar ya sudah menikmati AC, tidur enak, pelayanan, makan gratis?). Apakah seperti ini cerminan sikap yang diteladankan oleh nabi? Apakah memang cara hidup yang sedemikian kaku? Tentu saja tidak!!! Karena nabi Muhammad mengajarkan cara hidup yang penuh cinta kasih yang elegan.
Selain itu, berdasarkan cerita rekan di belakang, Si Ibu ini juga bersikap sama kasarnya terhadap anak-anaknya. Ini sungguh membuat miris. Anak-anak dididik sangat keras dan bahkan rasa kasih sayang itu ditunjukkan dengan keras pula. Bagaimana mental anak-anak itu selanjutnya jika sejak kecil saja sudah di-doping dan disuguhi sikap keras sehari-hari. Mereka tidak bisa memilih siapa orang tua mereka, tidak bisa memilih seberapa kaya orang tuanya, dan sebagainya. Akan tetapi, layaknya anak-anak pada umumnya mereka membutuhkan perhatian dan dan kasih sayang dalam masa pertumbuhannya. Mereka perlu bimbingan dalam perkembangan yang akan membentuk sikap hidupnya sehingga menjadi manusia yang bermartabat dan bermanfaat bagi sesama. Sekali lagi kita memang tidak bisa mengeneralisasikan tetapi setidaknya ini bisa menjadi pemahaman bersama tentang berbagai karakter manusia.
Pada akhirnya, saya memang tidak bisa menjustice sikap keluarga ini. Paradoks yang dimunculkan ini sedikit banyak menggetarkan hati saya. Setidaknya, sebagai seorang yang bergelut di bidang pendidikan dan konsen terhadap masalah dunia pendidikan saya amat menyayangkan hal ini. Saya menyayangkan mental anak-anak yang yang seharusnya dapat tumbuh dalam masa-masa yang menyenangkan harus bergumul dalam paradoks spiritual yang mengkerdilkan sendiri kehidupan mereka. Selayaknya, mereka mendapatkan kasih-sayang, perhatian, kelemah-lembutan dalam tahap usianya yang masih sangat labil. Mereka berhak mendapatkan perlakuan dan contoh perlakuan yang baik, sopan, dan bermartabat. Semoga Tuhan yang Maha Esa Allah SWT selalu melimpahkan kebaikan kepada orang-orang sabar. Amien.

Komentar