Dalam
berinteraksi dengan sesamanya, manusia tidak dapat dipisahkan dari bahasa.
Bahasa memegang peranan penting sebagai sarana komunikasi. Dalam proses
komunikasi tersebut sangat mungkin para penutur memakai bahasa yang lebih dari
satu. Misalnya, seseorang yang berkebangsaan Indonesia ketika berbicara dengan
turis asing menggunakan bahasa Inggris tetapi ketika ada temannya sesama orang
Indonesia dia berganti menggunakan bahasa Indonesia. Kondisi seperti ini biasanya
terjadi pada masyarakat bilingual/multilingual. Kontak yang intensif antara dua
bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam
masyarakat Indonesia tersebut mengakibatkan timbulnya fenomena bahasa, yaitu:
alih kode dan campur kode.
A.
Pengertian
Alih Kode dan Campur Kode
1.
Alih Kode
Alih kode atau code switching adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode
yang lain dalam suatu peristiwa tutur. Misalnya, penutur menggunakan bahasa
Indonesia beralih menggunakan bahasa Inggris. Alih kode merupakan salah satu
aspek ketergantungan bahasa (language
dependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam alih kode masing-masing
bahasa cenderung masih mendukung fungsi masing-masing dan masing-masing fungsi sesuai dengan
konteksnya.
Nababan (1984:31)
menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga kejadian pada waktu kita
beralih dari satu ragam bahasa yang satu ke ragam yang lain. Misalnya, ragam
formal ke ragam santai, dari kromo inggil (bahasa jawa) ke bahasa ngoko dan
lain sebagainya. Kridalaksana (1982:7) mengemukakan bahwa penggunaan variasi
bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena
adanya partisipasi lain disebut alih kode. Holmes (2001:35) menegaskan bahwa
suatu alih kode mencerminkan dimensi jarak sosial, hubungan status, atau
tingkat formalitas interaksi para penutur.
Berdasarkan
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa alih kode merupakan gejala peralihan
pemakaian bahasa karena perubahan peran
dan situasi. Alih kode menunjukkan adanya saling ketergantungan antara fungsi
kontekstual dan situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.
2.
Campur Kode
Nababan (1984:32)
mengatakan campur kode adalah suatu keadaan berbahasa dimana orang mencampur
dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak tutur. Dalam
campur kode penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai
bahasa tertentu. Sebagai contoh si A berbahasa Indonesia. Kemudian ia berkata
“sistem operasi komputer ini sangat lambat”. Lebih lanjut, Sumarsono (2004:202)
menjelaskan kata-kata yang sudah mengalami proses adaptasi dalam suatu bahasa
bukan lagi kata-kata yang mengalami gejala interfensi, bukan pula alih kode,
apalagi campur kode. Dalam campur kode penutur secara sadar atau sengaja
menggunakan unsur bahasa lain ketika sedang berbicara. Oleh karena itu, dalam
bahasa tulisan, biasanya unsur-unsur tersebut ditunjukkan dengan menggunakan
garis bawah atau cetak miring sebagai penjelasan bahwa si penulis
menggunakannya secara sadar. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa campur kode merupakan penggunaan dua bahasa dalam satu kalimat atau
tindak tutur secara sadar.
Referensi:
Harimurti
Kridalaksana. (1982). Pengantar sosiolinguistik.
Baandung:Angkasa.
Janet Holmes. (2001). An introduction to sociolinguistics.
Edinburgh: Person Education Limited.
P.W.J.
Nababan, (1986). Sosiolinguistik: suatu pengantar. Jakarta: Gramedia.
Sumarsono
dan Paina Partana. (2004). Sosiolinguistik.
Yogyakarta:Sabda.
heheh aku nggak nerti cama sekali
BalasHapusJakarta || Banten ||Lombok
Ngiding aja mbak Ridhan wkwk
BalasHapus