Bahasa merupakan gejala
sosial dimana penggunaan bahasa tidak dapat dipisahkan dengan interaksi dalam masyarakat.
Sebagai gejala sosial, bahasa dan
pemakaiannya tidak hanya ditentukan oleh
faktor-faktor linguistik, tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik, seperti: (a) faktor sosial, misal: status sosial, tingkat
pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin, dan sebagainya dan (b) faktor
situasional, misal: siapa berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di
mana, dan mengenai masalah apa. Berikut
akan dipaparkan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi penggunaan bahasa.
1.
Bahasa dan Pendidikan
Variasi sosial pengguna bahasa juga dapat ditinjau dari segi pendidikan. Chaer dan Agustina (2010:65) mengungkapkan bahwa perbedaan variasi
bahasa berdasarkan pendidikan bukan hanya dapat terlihat pada isi pembicaraan
melainkan juga kosakata, pelafalan, morfologi, dan sintaksisnya. Umumnya, semakin tinggi pendidikan yang ditempuh maka semakin banyak kosakata yang dimiliki.
2.
Bahasa dan Pekerjaan
Variasi
bahasa berdasarkan profesi adalah variasi bahasa yang terkait dengan jenis
profesi, pekerjaan, dan tugas para penguna bahasa tersebut.
Tiap-tiap pekerjaan memiliki registernya masing-masing. Wardhaugh (2006)
mendeskripsikan register sebagai suatu set ‘language
items’ yang berhubungan secara khusus dengan kelompok sosial atau kelompok
pekerjaan (occupational) tertentu seperti dokter, pilot, pedagang, sopir angkot, musisi. Setiap pekerjaan memiliki kosakatanya masing-masing yang terkadang
hanya dapat dimengerti oleh kalangan pengguna
sendiri.
Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Ferguson (1994 dalam Wardhaugh, 2006) ‘Orang-orang yang
berkutat dalam situasi komunikasi yang terus berulang cenderung mengembangkan
kosakata, intonasi, dan kepingan karakteristik sintaksis dan fonologi yang
mereka gunakan dalam situasi-situasi tersebut’. Ferguson menambahkan bahwa
‘istilah-istilah khusus untuk objek-objek atau kejadian-kejadian tertentu yang
berulang ini membantu komunikasi agar semakin ‘cepat’.
3.
Bahasa dan Agama
Agama merupakan salah satu faktor yang dapat memunculkan variasi bahasa.
Pengkajian agama dalam bidang sosiolinguistik dimulai Haugen dan Fishman dan William Stewart dan Charles Ferguson antara tahun 60-80an dimana hasil
penelitian mereka mengungkapkan hubungan antara agama dan bahasa. Selanjutnya, Stewart (dalam Darquennes
dan Vandenbussche, 2011) menyusun daftar
fungsi bahasa religius sebagai salah satu dari 10 fungsi bahasa. Pemeluk agama tertentu biasanya memiliki variasi yang berbeda
dengan pemeluk agama lain, misalnya pemeluk agama islam yang memiliki kosa kata
alhamdullilah, astagfirullah, dan
sebagainya.
4.
Bahasa dan Pranata Sosial
Pranata
sosial merupakan sistem norma dalam masyarakat yang
bersifat resmi untuk mengatur tingkah laku guna memenuhi kebutuhan hidup. Pranata sosial juga mempengaruhi variasi
bahasa dalam komunikasi. Misalnya, pada keluarga Jawa dikenal adanya undha-usuk, yaitu perbedaan tingkatan bahasa yang digunakan ketika
berkomunikasi dengan orang lain. Seorang anak ketika berbicara dengan temannya
tentu berbeda ketika berbicara dengan gurunya. Selain itu, dalam pranata
sosial variasi bahasa juga diakibatkan adanya sistem kasta yang mengatur.
Misalnya, umat Hindu di Bali yang memiliki perbedaan bahasa antara kasta yang satu dengan kasta yang lain.
Referensi:
Abdul Chaer. (2010). Sosiolinguistik: perkenalan awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Jeroen Darquennes & Wim Vandenbussche.
(2012). Language and religion as a
sociolinguistic field of study: some introductory notes, sociolinguistica. International Yearbook of
European Sociolinguistics.
Ronald Wardhaugh. (2006). An introduction to sociolinguistics. Oxford: Blackwell Publishing.
Komentar
Posting Komentar