Hidup
dalam kesendirian hampir setengah abad tak menyurutkan semangat seorang nenek untuk
bekerja. Kuawali cerita ini ketika beberapa hari yang lalu kami mengunjungi
beliau, seorang wanita hebat yang bertahan dalam kesederhanaannya. Senja itu seulas
senyuman menyambut kedatangan kami di rumahnya di Bantul. Suasana memang cukup
redup, seredup hati kami yang hampir tak bisa mengucap melihat ketabahannya di
usia renta.
Tak
ada saudara yang diajak berbagi keluh kesah, tak ada suami sekedar pengurai
resah karena Tuhan telah menjemputnya, tak ada anak yang seharusnya sedia
merawat dan menyayanginya (Sekali lagi kita lebih beruntung dalam hal ini). Meski
rambut tlah diputihkan usia, tekad sang nenek untuk mencari nafkah sangat
besar. Nenek ini bersedia memutari rumah-rumah tetangga untuk mengambil daun
pisang dan menjualkannya. Uang hasil penjualan daun pisang inipun masih harus
dibagi dua dengan yang punya pohon (Hasilnya tidak seberapa, sekedar untuk membeli
nasi dan menopang hidup yang entah tahan berapa hari). Kamu tahu teman? Inilah
perjuangan.
Ya,
aku akan mengatakannya padamu. Namanya Mbah Somo. Rumah yang berdinding terpal
biru tanpa ventilasi itu tampaknya menjadi temannya yang setia. Lantai tanah yang
selalu basah sudah bukanlah hal baru bagi wanita 80 tahun ini. Entah dari mana
air berasal hingga membuat lantai rumah ini begitu lembab. Belum lagi genting
yang terbuat dari seng yang sudah banyak yang bocor larut dimakan usia. Kondisi
ini diperparah dengan gelapnya ruangan yang terbagi menjadi dua sekat dengan
penerangan lampu 5 watt. Dapur yang sekaligus merangkap kandang ayam dan kamar
tidur yang juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang (yang tidak
seberapa). Ironisnya lagi, ketika kita membuka pintu hal pertama yang akan kita
saksikan adalah kandang kambing di sisi kiri depan rumahnya. Bahkan, rumah terpal
yang ditempatinya menempel pada dinding belas kasih keponakannya.
Potret
ini mungkin hanyalah salah satu dari sekian wanita hebat yang ditunjukkan Tuhan
kepada kita agar kita senantiasa belajar. Bukan hanya sekedar melihat dan
bersimpati tetapi menunjukkan empati dalam berbagai bentuk kasih sayang.
Bagi
sebagian orang, pemandangan di atas
mungkin hal biasa, lumrah, dan tidak perlu dirisaukan. Tetapi melihat kenyataan
seperti ini akankah kita berdiam diri??? Sementara di banyak sisi kita masih
memiliki materi, waktu, dan teman untuk berbagi??? Mengapa kita tidak
menyisihkan sedikit kesempatan untuk meringankan beban Mbah Somo???
Setiap
orang tentu selalu berharap pada masa depan baik dan inilah saat yang terbaik
untuk kembali mengukir senyum bersama. Rapatkan barisan, genggam, dan ulurkan
tangan karena aku yakin tangan kita masih cukup mampu untuk merengkuhnya.
Komentar
Posting Komentar