Aura ’45 di Museum Perjuangan Yogyakarta



Sejauh kita melangkah pasti akan kembali ke ujung semula. Pepatah itulah yang hinggap di otakku belakangan ini. Aku senang bisa kembali demgan hobi lamaku menginjakkan kaki di tempat-tempat baru yang belum pernah kusambangi sebelumnya. Hobi jalan-jalan sudah melekat sedemikian erat. Tentu saja hobi ini hampir disukai semua orang. Hanya saja, aku selalu menyempatkan untuk membawa pulang oleh-oleh sehabis jalan-jalan meski hanya sekedar foto dan cerita. Nah, inilah yang ingin aku bagi kali ini.
Biasanya, setiap pulang dari tempat baru ada ide-ide segar mengalir, merasa menemukan hal-hal baru yang tidak dipublis di daratan luas. Hal ini seperti yang aku rasakan ketika beberapa waktu yang lalu mengunjungi Museum Perjuangan Yogyakarta. Hanya dengan Rp 2.000 pengunjung dapat melihat berbagai barang peninggalan pahlawan bangsa Indonesia. Meski untuk ukuran museum termasuk mini tetapi museum ini menurutku mampu menghadirkan warna tersendiri. Museum ini menjadi bukti otentik bagian dari dokumentasi perjalanan sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia yang kita cintai.
Museum ini terdiri dari dua ruang utama, yaitu lantai atas dan lantai bawah tanah.  Lantai atas berisi berbagai koleksi seperti tempat duduk yang digunakan presiden Soekarno ketika diculik di Rengasdengklok, pakaian pejuang, meriam yang digunakan ketika berperang, replika wajah beberapa pejuang, game bambu runcing, foto-foto zaman dahulu, dan lain sebagainya.
Ruang yang kedua, yaitu lantai bawah tanah yang terletak di bawah ruangan utama dan dihubungkan dengan tangga kecil. Di lantai bawah ini dipamerkan satu stel pakaian adat Yogyakarta dan pakaian yang digunakan oleh pejuang zaman dahulu. Selain itu, di semua sisi dindingnya yang berbentuk lingkaran dipajang foto-foto tentang perjuangan. Foto-foto tersebut seolah ingin mengingatkan bahwa perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia tidaklah mudah. Terdapat satu hal yang membuatku berkesan di ruangan ini adalah adanya kursi panjang yang digunakan pengunjung duduk-duduk setelah mengelilingi museum. Aku menamainya kursi perenungan karena tempat ini cocok untuk merenungkan jasa-jasa para pahlawan lewat media gambar yang tersebar di seluruh dinding ruangan. Apalagi, tata letak gambar dipadu dengan pencahayaan temaram sehingga membuat perenungan/kontemplasi berlanjut semakin dalam.
Selain kursi perenungan, ada satu hal lagi yang membuatku kagum, yaitu relief yang terpahat di sisi luar gedung. Relief ini menceritakan fase demi fase perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Ini sesuatu yang unik, museum semi candi.  Ketika berkeliling mengamati relief kita seperti dipandu membaca sejarah lewat relief.  Pengunjungpun dapat meraba dan merasakan getaran semangat juang pahlawan. Ketika berada di museum ini, seolah pengunjung diajak berdialog, meresapi, membayangkan segala hal yang terjadi pada masa lalu secara nyata. Hal ini membuatku layak menyebutkan satu premis “kita diajak untuk berdamai” dengan sejarah bangsa yang tidak dapat disebut manis.
Itulah refleksi perjalananku mengunjungi Museum Perjuangan yang lebih dikenal masyarakat dengan sebutan musper. Kalimat terakhir yang terpatri ketika keluar dari museum adalah “ inilah caraku menghargai warisan bangsa dan upayaku mewarisi semangat juang para pahlawan”.  Harapan kedepan museum dapat menjalankan fungsinya bukan hanya sebagi simbol sejarah tetapi dapat mengorbitkan semangat juang pada generasi penerus sekaligus memberikan edukasi bahwa perjuangan itu selalu dibutuhkan dalam segala hal. (23102014)
Nb: Terima kasih Sdr Muhammad Solichin Tofa atas foto-fotonya

Komentar