Dialog Tanpa Jeda (Bagian 2)




(Meski hari berangsur senja, ternyata mereka tidak menyerah dan mengaku kalah). Mereka melanjutkannya dengan jantung berdetak lebih dari biasanya).

Dimana hatimu? Tahukah kau untuk siapa aku bekedip tiap menit?

Kau tak lebih dari cagak mati tak berarti. Dan aku tak peduli.

Jangankan menatap. Melongospun tidak.

Tak perlu bicara layaknya roh kudus.

Kaupun hanya diam laksana bunda maria. Kau terlalu terpaku mengejar bayangan yang entah sampai kapan akan terus meninggalkanmu.  Ah kau tak beda dengan Rayya dan sayangnya aku tak penah bisa mengimbangimu seperi Arya.  Aku hanya Kemal yang dengan mudah kau campakkan.

Rayya itu milik dunia dan dunia terlalu luas disinggahi banyak suku kata. Dunia perlu ditutup mungkin? Ide bagus bukan?

Dunia tidak harus ditutup justru otak sempitmu yang harus dibuka. Otakmu terlalu cerdas untuk dikurung di tempurung kepala. Ingin sekali kupecahkan kepalamu yng congkak itu.

Tak usah mengguruiku layaknya Siwa. Kau bukan dewa yang tahu segalanya.

Dan kau tak perlu memohon laksana guru besar. Ingat! Kau juga bukan dewi yang leluasa menggoda para dewa.

Kau menyindirku? Aku tak pernah mohon padamu (kecuali tentu saja kalau aku butuh) hahahaha… Aku benci kata dewi. Sok suci!

Untuk apa aku menyindir orang yang tak punya hati?

Tepat! Hatiku sudah kugadaikan di loakan dan tukang koran biar jadi buruan berita wisatawan.

Saat kau terluka kau datang padaku. Saat lukamu mongering kau asik bersamanya. Kamu kira aku betadine?

Tidak usah sok baik menyangkut pemberitaan absurd.

Kau bahkan tak meluluskan satupun permintanku padahal mungkin itu permintaan terakhirku. 

Kau bukan Tuhan yang tahu kapan akan dideadlinekan menghadap.

Kau juga bukan setan yang selalu menyakitkan bukan?

Apa pedulimu? mau setan, iblis, malaikat, psikopat.

Kau tak pernah berubah. Selalu merasa aneh melihatku.

Aku makin muak dengan lelucon ini.

Jadi selama ini kau anggap aku sedang melucu? Akting? Kau sering bertanya kenapa aku selalu baik denganmu.

Jawabnya, karena kamu bukan orang baik jadi kau berpura-pura baik. Itu jawaban paling diplomatis sepanjang masa bukan.

Kelak kau akan tahu jawabnya ketika aku tak lagi baik. Itu akan mengerikan.

Jadilah setan sekarang, biar wujudmu kelihatan. 

Aku memang setan. Aku pemuja nafsu.

Biar orang tak hanya melihatmu dalam bingkai kesopanan yang dibalut sutera. Biar orang tahu kau durjana pengoleksi dosa.

Dan sesungguhnya itulah yang kulihat pada dirimu. Bukankah sudah kukatakan padamu semua hal tentang hidupku. Di depanmu aku berasa tidur telanjang dan kau dengan mudahnya membedah semua otak, jantung, dan hatiku tanpa aku berdaya untuk menolak.

Aku muak, muak, muak. Kita tutup epilog ini.

Hehe… (tertawa kecut) jangan kau kira aku tak tahu, obrolan ini terjadi hanya karena kau gagal membunuh sepi.

Terima kasih nasehatnya.

(Demikianlah mereka akhirnya sama-sama diam kelelahan saling menuding).

Komentar

Posting Komentar