
Dari segi pamandangan alam, keindahan Kaliangkrik tak diragukan lagi. Jika siang hari, terlihat seperti Dieng. Kita dapat melihat hamparan kebun-kebun sayuran yang luas, Gunung Sumbing yang gagah, dan perbukitan nan eksotis. Bahkan, kita dapat melihat 3 air terjun yang cukup besar di lereng Gunung Sumbing. Sayangnya air terjun tersebut berada di lokasi yang cukup jauh dan medan yang sulit. Mungkin jika dikembangkan secara maksimal, air terjun tersebut dapat menjadi salah satu objek wisata di lereng Sumbing. Untuk yang satu ini, kamipun hanya bisa pasrah menikmati keindahannya dari jauh. Jika malam menjelang, kita dapat melihat lampu-lampu rumah warga yang berkelip-kelip seperti di Bukit Bintang Patuk Wonosari Gunung Kidul. Pendek kata, setiap sudut di desa ini adalah spot yang bagus untuk berfoto.
Pengalaman yang tidak kalah menarik bagiku adalah saat bertemu dengan pemuda-pemuda daerah Kaliangkrik. Saat itu, aku dan Kristin pulang dari warung. Ketika berjalan pulang, kami melewati segerombolan pemuda yang memanggil-manggil dengan sebutan “yu”. Saat itu kami belum tahu makna ungkapan “yu” tersebut. Kejadian berlanjut ketika kami naik ke rumah Syafei (rumah teman kami yang menjadi basecamp selama di Kaliangkrik). Dua pemuda memanggil dengan sebutan yang sama “yu-yu-yu”. Bahkan kedua pemuda tadi sampai membalikkan motor dan menunggu di bawah hingga kami masuk. Aku dan Kristinpun menyimpulkan bahwa “yu” adalah sapan untuk menggoda wanita. Entah benar atau tidak karena ketika dikonfirmasi dengan Syafei-pun tidak terdapat kejelasan makna akan arti “yu” itu sendiri.

Liburan yang direncanakan agar bertepatan dengan acara Saparan di tempat Syafei ini memang momen yang tepat. Pada kesempatan itu kami melihat dari dekat bentuk persaudaraan warga yang erat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya saudara dari daerah lain yang saling kunjung-mengunjungi. Acaranya sederhana, dimulai dari datang, ngobrol-ngobrol sebentar, makan, dan pulang. Kalau di Gunung Kidul disebut rasulan. Bahkan, pada pukul 01.00 WIB masih ada tamu yang datang berkunjung ke rumah Pak Sukozim. Catatan: mungkin terlalu larut tetapi kenyataan membuktikan bahwa tradisi mampu mengatasi keterbatasan waktu.
Di akhir petualangan, kami menyempatkan untuk mengunjungi Candi Selogriyo di Magelang. Kalau menurut informasi, lokasinya tidak terlalu jauh sehingga kami menikmati jarak sebagai bagian dari upaya penyenangan diri. Hanya saja? Ternyata medannya luar biasa!!! Naik turun, berkelok-kelok, dan jalannya kecil. Hal ini membuat siapapun yang melintas harus ekstra hati-hati. Ke-parno-an jalan akhirnya teratasi ketika kami sampai di candi yang ternyata terletak di atas bukit. Acara foto-foto dengan balon dan benderapun dilunasi. Candi Selogriyo yang merupakan candi tunggal tertata bersih dan rapi. Harga tiket masuknya terjangkau, yaitu Rp 5.000/orang (2014). Meskipun candi ini kecil tetapi candi ini memberikan sentuhan keindahan yang berbeda ketika dipindahkan dalam foto. Sayangnya, tangan-tangan jahil warga telah membuat kelima patung di dinding candi hilang. Selain itu, pada dinding candi diukir dengan nama-nama orang (mungkin semacam mengukuhkan cinta) tanpa mereka sadari bahwa perbuatan mereka merusak aset dan sejarah bangsa.
Selain dimanjakan dengan pemandangan alam yang luar biasa indah, kamipun termasuk orang yang mendapat berkah karena di rumah Pak Sukozim tersedia makanan yang melimpah. Aku semacam mengalami dejavu karena merasakan hal yang mirip dengan rasulan di Wonosari. Kami (Aku, Gesang Kristin, dan Huda) berkesempatan diajak ke rumah Simbahnya Syafei. Kalian tahu apa yang terjadi? Dengan sedikit kulit kucing berbulu badak kami melahap semua menu yang dihadirkan (untungnya di ruang makan hanya kami berempat hahahahaha…) Jadi, tidak berlebihan jika liburan kali ini merupakan liburan yang penuh semangat, hemat, dan, bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar