Naskah Kesedihan (Repertoar IV)



“Kamu yakin dengan rencana itu?,” tanyaku ke Nias saat dia menyeruput es buahnya. Kami sedang duduk menikmati senja di bawah pohon waru. Akhir minggu ini kami memang menikmati akhir pekan dengan sedikit kerjaan. Sup buah ini adalah tujuan terakhir setelah kunjungan ke penerbit majalah selesai.

“Mungkin,” jawabnya singkat. Aku memperhatikan caranya makan. Lucu juga. Buah dan kuah dimakan secara terpisah. Macam obral saja pikirku geli. Sadar diperhatikan, dia menatapku sambil mengernyitkan kening. Tapi tak lama senyumnya mengembang menampakkan barisan giginya yang tersusun rapi seperti biji mentimun.

“Mau aku suapin?” katanya langsung menyodorkan sendok berisi rambutan. Seperti anak bayi aku membuka mulut dengan rona sedikit mengejek. Dia tertawa. Aku tertawa. Kami tertawa (meski kami sama-sama menyadari tawa ini sumbang).

“Kamu gak papakan kalau memang begitu?” tanyanya pelan.

“Ya nggak papa. Aku hanya ingin memastikan. Tahu sendiri akhir tahun biasanya harga diobral sampai 70%,” gurauku menyembunyikan sengau. Nias menepuk tanganku. Hal yang biasa dia lakukan saat berusaha menenangkan.

“Bagaimana denganmu?” tanyanya lembut.

“Masih seperti yang dulu. Mimpiku masih sama. Aku suka dengan yang aku geluti saat ini. Di sini aku belajar dan di sini misi terakhir akan menjadi landasan bagi kisah-kisah selanjutnya. Masih ingatkan tentang kisah para penabung akhirat? Mereka memberi hal yang bisa dipendarkan oleh berjuta-juta komuni di bawahnya. Dan selama itu, neraca pahalanya akan terus menanjak tanpa disadari. Jadi, kalau aku bilang inilah yang namanya berbisnis dengan malaikat. Untuk hal yang satu itu, (aku mengambil tisu) kita bertemu di dermaga dan saling bertanya masihkah rindu mungkin juga bagian dari perjalanan ini,” jawabku sedikit tersendat.

“Tidak terlalu jauh, Tan?”

“Kita masih menganut prinsip yang sama bukan? Di dunia ini tidak ada yang mudah tetapi tidak ada yang tidak mungkin. Kalau kita punya keyakinan pasti bisa mewujudkannya. Entah siapa yang memanjatkan doa di seberang semenanjung. Semoga…”

“Semoga Tuhan merestui, Aamiin,” Nias mendahului dan mengusapkan telapak tangan ke wajahnya. Tanpa sadar aku mengikutinya.

“Aamiin,” jawabku. Kamipun menutup pertemuan itu dengan keyakinan bahwa mimpi kami adalah bagian dari perayaan akhir tahun.
-------------------------&----------------------
“Hati-hati, Tuhan akan memberikan perhatian kepada orang-orang yang selalu bersyukur akan nasib baiknya,” kataku ketika Nias menyelipkan lembaran artikel terakhir ke dalam tasku. Kalau artikel sudah di tangan biasanya akan sulit menemuinya lagi. Kalau bisa episode yang seperti ini harusnya tak pernah terjadi.

“Kalau aku ketemu dengan nasip yang tak baik, tak apa karena selanjutnya aku akan memastikan takdir yang terjadi jauh lebih baik. Kalau aku jadi ilalang di kemudian hari, tak apa karena aku akan memastikan bunganya berharga mahal. Jika aku menjadi anggrek sekalipun, aku pastikan anggreknya tidak dijual di pasaran.”

“Semoga berhasil Nias. Aku akan selalu merindukan saat-saat bersamamu seperti sebelumnya.”

“Terlebih aku, Tan. Jaga diri baik-baik. Tuhan akan selalu mendengar doa orang yang senantiasa bersabar.”

“Segala yang…”

“Segala yang pernah adalah keajaiban,” katanya mendahului sambil mengusap kepala dan mengecup keningku.

Kami tersenyum dan melepaskan tangan. Saat itu pukul 17.22 waktu senja. Dan sejak itu aku tak melihatnya lagi.

Komentar

Posting Komentar