“Kamu yakin dengan rencana itu?,” tanyaku ke Nias saat dia menyeruput es buahnya. Kami sedang duduk menikmati senja di bawah pohon waru. Akhir minggu ini kami memang menikmati akhir pekan dengan sedikit kerjaan. Sup buah ini adalah tujuan terakhir setelah kunjungan ke penerbit majalah selesai.
“Mungkin,”
jawabnya singkat. Aku memperhatikan caranya makan. Lucu juga. Buah dan kuah
dimakan secara terpisah. Macam obral saja pikirku geli. Sadar diperhatikan, dia
menatapku sambil mengernyitkan kening. Tapi tak lama senyumnya mengembang
menampakkan barisan giginya yang tersusun rapi seperti biji mentimun.
“Mau
aku suapin?” katanya langsung menyodorkan sendok berisi rambutan. Seperti anak
bayi aku membuka mulut dengan rona sedikit mengejek. Dia tertawa. Aku tertawa.
Kami tertawa (meski kami sama-sama menyadari tawa ini sumbang).
“Kamu
gak papakan kalau memang begitu?” tanyanya pelan.
“Ya
nggak papa. Aku hanya ingin memastikan. Tahu sendiri akhir tahun biasanya harga
diobral sampai 70%,” gurauku menyembunyikan sengau. Nias menepuk tanganku. Hal
yang biasa dia lakukan saat berusaha menenangkan.
“Bagaimana
denganmu?” tanyanya lembut.
“Masih
seperti yang dulu. Mimpiku masih sama. Aku suka dengan yang aku geluti saat
ini. Di sini aku belajar dan di sini misi terakhir akan menjadi landasan bagi
kisah-kisah selanjutnya. Masih ingatkan tentang kisah para penabung akhirat?
Mereka memberi hal yang bisa dipendarkan oleh berjuta-juta komuni di bawahnya.
Dan selama itu, neraca pahalanya akan terus menanjak tanpa disadari. Jadi,
kalau aku bilang inilah yang namanya berbisnis dengan malaikat. Untuk hal yang
satu itu, (aku mengambil tisu) kita bertemu di dermaga dan saling bertanya
masihkah rindu mungkin juga bagian dari perjalanan ini,” jawabku sedikit
tersendat.
“Tidak
terlalu jauh, Tan?”
“Kita
masih menganut prinsip yang sama bukan? Di dunia ini tidak ada yang mudah tetapi
tidak ada yang tidak mungkin. Kalau kita punya keyakinan pasti bisa
mewujudkannya. Entah siapa yang memanjatkan doa di seberang semenanjung. Semoga…”
“Semoga
Tuhan merestui, Aamiin,” Nias mendahului dan mengusapkan telapak tangan ke
wajahnya. Tanpa sadar aku mengikutinya.
“Aamiin,”
jawabku. Kamipun menutup pertemuan itu dengan keyakinan bahwa mimpi kami adalah
bagian dari perayaan akhir tahun.
-------------------------&----------------------
“Hati-hati,
Tuhan akan memberikan perhatian kepada orang-orang yang selalu bersyukur akan
nasib baiknya,” kataku ketika Nias menyelipkan lembaran artikel terakhir ke
dalam tasku. Kalau artikel sudah di tangan biasanya akan sulit menemuinya lagi.
Kalau bisa episode yang seperti ini harusnya tak pernah terjadi.
“Kalau
aku ketemu dengan nasip yang tak baik, tak apa karena selanjutnya aku akan
memastikan takdir yang terjadi jauh lebih baik. Kalau aku jadi ilalang di
kemudian hari, tak apa karena aku akan memastikan bunganya berharga mahal. Jika
aku menjadi anggrek sekalipun, aku pastikan anggreknya tidak dijual di pasaran.”
“Semoga
berhasil Nias. Aku akan selalu merindukan saat-saat bersamamu seperti
sebelumnya.”
“Terlebih
aku, Tan. Jaga diri baik-baik. Tuhan akan selalu mendengar doa orang yang
senantiasa bersabar.”
“Segala
yang…”
“Segala
yang pernah adalah keajaiban,” katanya mendahului sambil mengusap kepala dan
mengecup keningku.
Kami tersenyum
dan melepaskan tangan. Saat itu pukul 17.22 waktu senja. Dan sejak itu aku tak
melihatnya lagi.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus