Bapak
yang berbahagia datanglah engkau bersama rindu. Katakan padaku apa yang harus
kuperbuat. Apa yang harus kulakukan. Dan bagimana menjelmakan semua kegelisahan
ini dalam unsur yang bernada sedikit bahagia.
Mendengar
dendang suaramu adalah bagian dari kebahagiaan. Hal yang tak dapat ditukar
dengan nominal apalagi poin lotre. Setiap helaan yang ada membuatku merasa kau
ada. Menemani meski tak berwujud. Dan yang jelas sikapmu memerhatikan sekitar
membuatku nyaman.
Hari
ini ketemu pak Lukito. Banyak pengalaman baru yang diceritakan. Dari sini aku
tahu setelah 30 tahun berlalu orang akan terlihat dari kesungguhannya. Dari
cara berpakaiannya, dari gaya bicara, dan cara dia memerlakukan orang lain.
Dari sini aku belajar bagaimana caranya menghargai orang yang lebih kecil.
Bagaimana memerlakukan orang secara lebih santun dan pantas. Pak Lukito semoga
selalu sehat.
Kamu
selalau baik padaku jika begini. Berbeda jika sedang bersua. Kamu begitu manis
sikapnya meski di lubuk hati terasa betapa hambarnya. Ini jauh berubah dari
biasanya. Apa memang harus begitu agar keadaan menjadi baik-baik saja? Aku
merasa kamu membuat kebaikan nyata saat dijauhi keadaan.
Telepon
ini membuatku berpikir banyak hal. Mengapa orang tua itu bisa berdiskusi banyak
hal ngalor-ngidul tapi tidak bisa melaksanakan? Bisa berbicara penuh intonasi
tertapi tak pernah mempraktikkannya dengan sepenuh hati. Kesadaran diri tidak
dibarengi dengan kontrol dan bentuk komunikasi yang bisa saling mengerti. Apa yang
salah dalam tatanan ini? Apa yang tidak
benar?
Ini
adalah penutup yang penuh nikmat. Bersamamu dalam kesukacitaan tetapi
menyiratkan ihwal pertemanan. Engkau yang mau menyatu dan tak pernah bilang
sendiri. Aku suka engkau yang membaur dengan banyak hal yang kulakukan. Menyapa
subjek-subjek yang berkenaan denganku. Aku suka apa yang dikatakan dalam satu
rentetan pengalaman maraton yang menerbitkan rasa rindu.
Komentar
Posting Komentar