Pengertian Patah Hati (Part 1)



Sebelum tahun ini berakhir, aku ingin menuntaskan beberapa cerita yang sekali lagi sempat tertunda. Kurangkum dalam 5 repertoar. Tapi kau perlu tahu bahwa ini bukanlah zaman penghakiman rasa. Jadi, semua  mengalir begitu saja. Nikmati dalam suasana yang biasa dan kalau perlu harus dalam suasana bahagia karena ini bukan cerita yang heroik. Kalau sedikit melankolis mungkin iya.

Pengertian Patah Hati (Part 1)
Namanya Nias. Semacam nama pulau di salah satu sudut negeri ini. Suatu waktu, dia berkata padaku. Masih lekat dalam ingatanku setiap kata yang terucap. Bahkan, cara dia berbicara, caranya mengeja, dan helaan nafasnyapun aku perhatikan betul.
“Aku ingin mengobrol”, katanya memulai pembicaraan.
“Tentang apa? Kurasa kita tak perlu lagi berbicara banyak hal yang hanya menguras energi dan waktu,” jawabku langsung.
“Bukan, ini bukan tentang kita. Ini tentang seseorang”.
“Oh, tentu. Tentu. (aku bersemangat mendengarnya memulai cerita). Bagaimana seseorang itu? Apakah ini sesuatu yang spesial?” tanyaku tak sabar.
“Dia lembut seperti bahasa ibunya. Dia merelakan banyak waktunya untuk membuat orang-orang di sekitarnya bahagia. Lama kami tak jumpa, dan kemarin aku menemuinya masih dengan cara yang sama. Tau tidak? dia menatapku dengan cara yang sama saat aku ketemu dia 10 tahun yang lalu.”
“Kisah orang lama, ya? Sepertinya ini mengesankan. Aku akan senang mendengarnya. Lanjutkan”.
“Dia bilang kalau aku manis dan manja. Dia bilang aku masih kaya anak mama. Padahal diakan tahu, aku terlahir tanpa orang tua”.
“Maksudmu, kamu amnesia? Kan gak mungkin orang lahir tanpa orang tua?” potongku cepat.
“Sssttttt... (Dia menempelkan telunjuknya di bibirku, berdesir dan kalau bisa aku mau pingsan saja J ). Orang tuaku adalah bagian yang tak akan pernah dilupakan, maksudku dalam episode ini aku meng-crop-nya agar kau tahu dimana fokus-fokus yang harus kau dengar.”
“Baiklah, kita mulai. Singkat kata apakah kau jatuh hati lagi padanya?” tanyaku tak sabar.
“Dasar bawel!!! Kenapa kamu selalu berpikir 3 langkah di depanku? Tapi mungkin begitu juga. Dia membuatku berpikir bahwa kami memang dipertemukan Tuhan untuk bersatu.”
“Ya baguslah kalau begitu. Setidaknya Tuhan mendengar doamu tiap hari bahwa kamu tak lagi jadi makhluk akutkan?” godaku sambil membuang ilalang yang sedari tadi kugigit. 
“Kamu tidak cemburu?”
“Cemburu itu hanya milik orang-orang yang tidak percaya diri. Sama halnya dengan gengsi. Orang yang gengsinya tinggi biasanya rasa percaya dirinya akan tinggi jika ditunjang dengan banyak hal. Kalau hal-hal yang menunjang tidak ada maka kau akan tahu bahwa mereka tidak punya rasa percaya yang kuat.”
“Benar kamu tidak apa-apa?”tanyanya meyakinkan.
“Semua orang punya pilihan maka pilihlah yang terbaik yang kamu yakini,” saranku mantap.
“Ya, aku mencintainya. Tak dapat kupungkiri, aku senang bercerita denganmu. Aku percaya karena kamu asik dan kamu teman yang baik”.
“Semoga beruntung,” kataku sambil beringsut mengambil syal yang sedari tadi kugosok-gosok di tangan meski tak ada gatal.
Akupun berjalan menyusuri tanah yang mulai basah oleh hujan. Aku sempat tersanjung menjadi orang yang dipercayai. Namun, mendengar kata “karena kita teman” tak pelak membuatku sukses patah hati. Karena aku menjadikanmu tujuan tapi kau hanya menjadikanku pilihan. Tapi tidak apa-apa cintaku kau abaikan sekarang yang penting studiku sukses. Studi yang sukses akan mendatangkan cinta yang lebih berkelas hiburku dalam hati. (23122014)


Komentar