Suatu Hari di Sebuah Pementasan (Part II)



Hari ini kami berencana untuk mengunjungi pameran patung dan lukisan. Sejak awal kami memiliki hobi yang sama, yaitu melihat dan mencermati hal-hal yang unik. Pemikiran kami sedehana. Pameran pasti diselenggarakan karena ada misi  yang ingin disampaikan. Dan misi tersebut pasti memiliki falsafah tersendiri yang dirancang untuk mengesankan pengunjung. Begitu pula kami yang sepakat bahwa banyak hari yang dilalui harus diisi dengan kesan-kesan yang indah. Setibanya di sana, dia berkata,” apakah kamu akan mengukir namaku di hatimu?”

Aku tersenyum. “Memangnya kamu mau mengeram di hatiku? Banyak sih ruang kosong tapi banyak bulu-bulunya” balasku.

“Aku kadang berpikir bahwa kita bisa saja ditakdirkan bersama. Kalau begitu kata Tuhan, kamu mau jawab apa?” tanyanya penuh semangat. Dia memandangkan dengan mata yang begitu indah.

“Aku senang-senang saja, nanti kalau kamu jahat tinggal aku ngadu sama Tuhan. Aku bakal bilang, Tuhan ini salah satu makhluk-Mu jahat kepadaku. Terus kamu dimarahin Tuhan. Terus nanti kamu ganti berdoa…”

“Aku cuma bilang kadang. Dan itu cuma dalam satu kalimat. Kamu jawabnya banyak kalimat. Wis to jangan cerewet!” potongnya. Kalau sudah dibilang cerewet aku jadi mati kutu. Akupun diam seolah aku lagi ngadepin Pak Guru. Sayangnya Pak Guru yang ini killer-killer tapi menarik.

Nias menulis nama kami di buku tamu. Dua brosurpun diselipkan ke dalam tasku. Biasanya kami menyebut brosur sebagai oleh-oleh. Kami senang membaca deretan deskripsinya. Setiap sampai rumah, brosur itu aku susun di rak buku dengan gumaman “ini bagian dari episode indah”.

“Ayo,” katanya sambil menggamit tanganku. Hal yang sederhana tapi aku menyukainya. Akupun membiarkan Nias memilih tempat duduk kami. Biasanya kami suka memilih di sudut yang dalam kondisi normal dapat diartikan kami memilih untuk tidak ubek mengganggu yang lain. Kalau temanku bilang ini bagian modus hihihi… tapi siapa peduli.

“Apa tema malam ini?” tanyanya.

“Sedikit menarik. Ini tentang percintaan antarmanusia . Mungkin kamu mau jadi salah satu ikon di sini,” kataku sambil menunjuk salah satu foto pemain.

“Bagaimana kalau kita saja yang main, mereka yang nonton?”

“Emang kita punya kisah cinta?”, cerocosku langsung,” punyapun emang punya nilai jual?” imbuhku lagi sambil mengerlingkan mata manja.

“Menurutmu tidak? Hebat ya kalau difilmkan,” bantahnya tak mau kalah.

“Iya hebat soalnya filmnya tanpa narasi? Hahhaha…”

“Nanti kamu yang nulis aku yang cerita, Tan. Lihat yang itu (katanya sambil menunjuk seorang yang memainkan biola). Keren ya?” tanyanya.

“Ah, itu bukan pertanyaan, itu pernyataan. Bilang aja ngefans,” kataku pura-pura cemberut.

“Egak, egak… bercanda, Tan”.

Semoga kaupun tak bercanda menyukaiku batinku dalam hati. Kami menikmati malam itu dengan iringan biola yang gesekannya masih kurasakan sampai sekarang. Lembut dan syahdu.


Komentar