Hari ini kami berencana untuk
mengunjungi pameran patung dan lukisan. Sejak awal kami memiliki hobi yang
sama, yaitu melihat dan mencermati hal-hal yang unik. Pemikiran kami sedehana.
Pameran pasti diselenggarakan karena ada misi yang ingin disampaikan. Dan misi tersebut pasti
memiliki falsafah tersendiri yang dirancang untuk mengesankan pengunjung.
Begitu pula kami yang sepakat bahwa banyak hari yang dilalui harus diisi dengan
kesan-kesan yang indah. Setibanya di sana, dia berkata,” apakah kamu akan
mengukir namaku di hatimu?”
Aku tersenyum. “Memangnya kamu mau
mengeram di hatiku? Banyak sih ruang kosong tapi banyak bulu-bulunya” balasku.
“Aku kadang berpikir bahwa kita bisa
saja ditakdirkan bersama. Kalau begitu kata Tuhan, kamu mau jawab apa?”
tanyanya penuh semangat. Dia memandangkan dengan mata yang begitu indah.
“Aku senang-senang saja, nanti kalau
kamu jahat tinggal aku ngadu sama Tuhan. Aku bakal bilang, Tuhan ini salah satu
makhluk-Mu jahat kepadaku. Terus kamu dimarahin Tuhan. Terus nanti kamu ganti
berdoa…”
“Aku cuma bilang kadang. Dan itu cuma
dalam satu kalimat. Kamu jawabnya banyak kalimat. Wis to jangan cerewet!” potongnya. Kalau sudah dibilang cerewet aku
jadi mati kutu. Akupun diam seolah aku lagi ngadepin Pak Guru. Sayangnya Pak
Guru yang ini killer-killer tapi
menarik.
Nias menulis nama kami di buku tamu. Dua
brosurpun diselipkan ke dalam tasku. Biasanya kami menyebut brosur sebagai
oleh-oleh. Kami senang membaca deretan deskripsinya. Setiap sampai rumah,
brosur itu aku susun di rak buku dengan gumaman “ini bagian dari episode indah”.
“Ayo,” katanya sambil menggamit
tanganku. Hal yang sederhana tapi aku menyukainya. Akupun membiarkan Nias
memilih tempat duduk kami. Biasanya kami suka memilih di sudut yang dalam
kondisi normal dapat diartikan kami memilih untuk tidak ubek mengganggu yang
lain. Kalau temanku bilang ini bagian modus hihihi… tapi siapa peduli.
“Apa tema malam ini?” tanyanya.
“Sedikit menarik. Ini tentang percintaan
antarmanusia . Mungkin kamu mau jadi salah satu ikon di sini,” kataku sambil
menunjuk salah satu foto pemain.
“Bagaimana kalau kita saja yang main,
mereka yang nonton?”
“Emang kita punya kisah cinta?”,
cerocosku langsung,” punyapun emang punya nilai jual?” imbuhku lagi sambil
mengerlingkan mata manja.
“Menurutmu tidak? Hebat ya kalau
difilmkan,” bantahnya tak mau kalah.
“Iya hebat soalnya filmnya tanpa
narasi? Hahhaha…”
“Nanti kamu yang nulis aku yang cerita,
Tan. Lihat yang itu (katanya sambil menunjuk seorang yang memainkan biola). Keren
ya?” tanyanya.
“Ah, itu bukan pertanyaan, itu
pernyataan. Bilang aja ngefans,” kataku pura-pura cemberut.
“Egak, egak… bercanda, Tan”.
Semoga kaupun tak bercanda menyukaiku
batinku dalam hati. Kami menikmati malam itu dengan iringan biola yang
gesekannya masih kurasakan sampai sekarang. Lembut dan syahdu.
Komentar
Posting Komentar