Tentang Perjalanan Ke Lereng Gunung Sumbing (part 1)



Menyesap teh di lereng Gunung Sumbing merupakan salah satu mimpiku sejak lama. Ini gegara temanku yang dengan entengnya memamerkan cerita minum teh di rumahnya. Alhasil, adrenalin petualangku melonjak dan minta digenapi hingga akhirnya aku menjanjikan akan datang kesana setelah urusan selesai. Sebelum waktu yang dijanjikan tiba, salah satu teman mengontak untuk memajukan jadwal liburan ke lereng Sumbing. Ada peluang di depan mata, mana mungkin kusia-siakan begitu pikirku.
Dari obrolan sederhana, akhirnya kami (berdelapan) mulai merayapkan kaki menuju Magelang pada Sabtu pagi tanggal 29 November 2014. Perjalanan yang ditempuh hampir tiga jam memang terasa sedikit lama karena banyak insiden yang kami alami selama perjalanan. Mulai dari tragedi kehabisan bensin hingga tanjakan yang terlalu panjang sehingga memaksa para penumpang turun dan membiarkan kakinya menyusuri tanjakan di lereng Sumbing. Dari sini kegialaan mulai muncul dengan acara berfoto narsis ria padahal sebenarnya sambil mengistirahatkan mesin motor dan menghela lelah. Ini juga kali pertamanya kami merasakan tanah Gunung Sumbing yang konon katanya merupakan Gunung dengan nilai mistis yang tinggi. Dan khusus hal ini aku punya cerita tersendiri.
Sambutan Sumbing luar biasa hangat bagi kami, mulai dari keluarga Pak Sukozim, warga masyarakat, hingga para pemudanya yang meriah (termasuk rambutnya). Sebenarnya hal ini sering menjadi obrolan kami hingga saat ini. Terdapat beberapa pemuda yang eksis dengan rambut yang berwarna mencolok seperti merah pink, hijau, abu-abu, hingga pirang. Tren rambut warna-warna menyala ini seolah menjadi sesuatu yang wah (bagi mereka) sekaligus simbol keberanian mendobrak pakem masyarakat yang santun karena sebagian besar bernilai agamis. Catatanku kali ini: pemuda daerah Kaliangkrik yang notabene secara lokatif jauh dari akses kota ternyata sudah sedemikian akrab dengan  pengaruh fashion dari luar.
Selain warna rambut, di Sumbing juga tak kalah menarik karena banyak warga yang meggunakan payung-payung yang bermotif cantik dan menarik. Kecantikan motif-motif payung semakin terlihat saat sore hari warga berduyun-duyun mendatangi lokasi pasar malam. Menurutku ini fenomena yang menarik. Kenapa? karena di daerah lain aku belum pernah menemui hal seperti ini sebelumnya hehe… Selain aneka warna, motif bunga-bunga yang ada di payung tersebut juga terlihat cantik dan menggoda. Semacam menemukan gairah muda saat melihat payung-payung tersebut bertebaran di lapangan.
Jika dilihat dari bentuk-bentuk rumah dan sekilas kehidupan di daerah ini dapat dikatakan bahwa masyarakat daerah ini memiliki taraf hidup yang cukup baik. Hal ini dibuktikan dari rumah-rumah penduduk yang sebagian besar sudah menggunakan tembok. Bentuk-bentuk rumahnyapun sudah banyak yang mengadopsi bentuk modern. Sebuah pemancar radiopun berdiri tegak di atas lereng ini. Akses jalan masuk juga sudah cukup baik dan beraspal. Akan tetapi, bagi kalian yang maniak dan tidak bisa hidup jauh dari gadget, dapat dipastikan kalian bakal menangis tujuh hari tujuh malam. Pasalnya, daerah Kaliangkrik termasuk daerah yang gawat alias miskin sinyal. Mendapatkan sinyal 1 atau 2 saja sudah syukur alhamdullilah. Dan diantara teman-teman yang lain, aku adalah orang yang paling beruntung karena bisa menerima panggilan telepon. Untuk mencari sinyal SMS dan BBM saja sulitnya minta ampun, apalagi dapat menerima telepon itu rasanya ibarat mendapatkan emas 1kg. Hahahahaha…
Kalian tentu juga perlu tahu bahwa acara pasar malam tahun 2014 ini merupakan pasar malam yang pertama kalinya diadakan di daerah ini. Bagi masyarakat sekitar, kegiatan ini merupakan hiburan yang benar-benar menghibur. Hal ini terlihat dari antusiasme warga yang datang ke lapangan demi menyaksikan acara tersebut meskipun hujan mulai mengguyur. Acara pasar malam Kaliangkrik hampir mirip dengan acara pasar malam Sekaten di Yogyakarta hanya saja dalam skala yang lebih kecil. Pada acara tersebut juga terdapat wahana permainan anak-anak, stan makanan, stan jajanan anak-anak, pakaian, asesoris, dan lain sebagainya.
Menurut salah satu temanku, pasar malam juga merupakan ajang pencarian cinta bagi para pemudanya. Jadi ketika malam menjelang, pemuda-pemudi akan datang ke pameran dan saling berkenalan. Wow!!! Setelah mendengar cerita ini, aku dan Kristin (salah satu temanku) berniat harus turun ke lapangan dan menyaksikan sendiri acara transaksi cinta itu. Sayang, keinginan tersebut kandas di tengah jalan karena hujan lebat dan kami harus pasrah mendekam mendengarkan cerita di rumah. Mungkin sedikit menyedihkan tetapi pengalaman di Sumbing masih terasa hangat sampai sekarang.
Nb: berlanjut di part 2

Komentar