Bagaimana Aku Menjawab? (Repertoar VI)



“Terima kasih, Kak. Aku gak nyangka Kakak datang. Lho, mana Mas … ?” tanyanya begitu aku berdiri di depannya. Kepalanya celingak-celinguk mencari sosok yang kini memang kuyakini tidak akan muncul. Aku tersenyum. Diapun tersenyum paham.

“Memang begitu, Kak. Sudah lazim,” katanya masih sambil menunjukkan senyum kecilnya yang aku yakini sebagai sebuah senyum ejekan.

Tentu kalian belum lupa bahwa gadis yang sekarang kusalami adalah gadis yang sama kutemui di kedai lima tahun yang lalu. Dan namanya baru kutahu seminggu yang lalu, Deigra Pitaloka dengan nama panggilan Diga. Nama yang cantik dengan parfum krisan yang amat kuhafal sebagai milik... Ah, aku tak sanggup melanjutkan. Aku terlalu mengenalnya.

Ben mengajakku keluar lewat pintu samping. Dan memang ini merupakan teknik yang ajaib. Ternyata pintu ini menuju ke taman yang bersebelahan dengan tempat parkir. Yihuyyy… berarti aku tak perlu harus jalan memutar. Hanya saja keceriaanku lepas dari penat hilang dalam detik ketiga. Aku melirik Ben yang kelihatannya tidak kalah terkejut. Memang dunia ini penuh dengan kejutan. Aku melihatnya berdiri di ujung taman dengan membawa sesuatu yang bisa disebut bunga. Pakaiannya tidak hanya sekedar rapi tetapi sangat rapi. Sepatunya mengkilat dan senyumnya menampakkan rasa sumringah. Aku dan Ben masih berdiri mematung melihat hal yang tak mungkin sedikitpun berkelebat dalam pikiran kami. Dia berjalan mendekat. Senyumnya masih sama memikat dengan mata yang jernih berkilat. Sebenarnya aku tak ingin lebay tapi gejolak dalam perasaanku tampaknya tidak cukup pandai berakting.

“Bagaimana kabar? sehat?” tanyanya ketika sampai di depanku. Gila! Edan! Kenapa baru sadar? Kok aku bodoh banget ya pikirku. Bajunya? Warnanya? Wanginya? Semua sama. Ya ampun Tuhan, kenapa pertemuan ini terjadi dalam nuansa yang begini dan begitu cepat. Bahkan, di depannya mulutku secara terkunci tak mampu bicara. Tak ada yang tahu betapa rindu ini menggebu dalam panjangnya malam. Tentang bagaimana keterjagaan perasaan ini menjadi benteng yang dirambati lontar dan lumut. Mungkin bahkan tak ada yang mengerti bahwa bara yang membeku dalam es-pun mencair dalam satu kedipan mata. Semuanya menjadi riak-riak yang bergelung dan tandus sekaligus.

Ben yang tampaknya melihat celah abnormal langsung menarik tanganku melewatinya tanpa sepatah katapun. Kami berjalan menjauh. Menjauh dari keramaian dan membiarkannya menjadi bagian yang tertinggal. Samar-samar kudengar Diga berkata “aku menang”. 

(Kriingggggggg!!!!!!!!! Dan jam kodokku berbunyi sangat keras. Ahhh… ternyata sudah pagi)

Komentar

  1. Bubu lagi aja biar mimpi lagi ketemu Ben tanpa cong ahahaaaa

    BalasHapus
  2. Ben itu anak baik yang tidak akan muncul hanya karena ada orang yang menginginkannya datang.

    BalasHapus
  3. Berarti dolob tergolong anak tidak baik karena sering muncul saat orang tak menginginkannya datang

    BalasHapus
  4. Berarti dolob tergolong anak tidak baik karena sering muncul saat orang tak menginginkannya datang

    BalasHapus

Posting Komentar