“Terima kasih, Kak. Aku gak nyangka
Kakak datang. Lho, mana Mas … ?” tanyanya begitu aku berdiri di depannya. Kepalanya
celingak-celinguk mencari sosok yang
kini memang kuyakini tidak akan muncul. Aku tersenyum. Diapun tersenyum paham.
“Memang begitu, Kak. Sudah lazim,” katanya masih sambil menunjukkan senyum
kecilnya yang aku yakini sebagai sebuah senyum ejekan.
Tentu kalian belum lupa
bahwa gadis yang sekarang kusalami adalah gadis yang sama kutemui di kedai lima
tahun yang lalu. Dan namanya baru kutahu seminggu yang lalu, Deigra Pitaloka
dengan nama panggilan Diga. Nama yang cantik dengan parfum krisan yang amat
kuhafal sebagai milik... Ah, aku tak sanggup melanjutkan. Aku terlalu
mengenalnya.
Ben mengajakku keluar lewat pintu
samping. Dan memang ini merupakan teknik yang ajaib. Ternyata pintu ini menuju
ke taman yang bersebelahan dengan tempat parkir. Yihuyyy… berarti aku tak perlu
harus jalan memutar. Hanya saja keceriaanku lepas dari penat hilang dalam detik
ketiga. Aku melirik Ben yang kelihatannya tidak kalah terkejut. Memang dunia
ini penuh dengan kejutan. Aku melihatnya berdiri di ujung taman dengan membawa
sesuatu yang bisa disebut bunga. Pakaiannya tidak hanya sekedar rapi tetapi
sangat rapi. Sepatunya mengkilat dan senyumnya menampakkan rasa sumringah. Aku
dan Ben masih berdiri mematung melihat hal yang tak mungkin sedikitpun
berkelebat dalam pikiran kami. Dia berjalan mendekat. Senyumnya masih sama
memikat dengan mata yang jernih berkilat. Sebenarnya aku tak ingin lebay tapi
gejolak dalam perasaanku tampaknya tidak cukup pandai berakting.
“Bagaimana kabar? sehat?” tanyanya
ketika sampai di depanku. Gila! Edan! Kenapa baru sadar? Kok aku bodoh banget
ya pikirku. Bajunya? Warnanya? Wanginya? Semua sama. Ya ampun Tuhan, kenapa
pertemuan ini terjadi dalam nuansa yang begini dan begitu cepat. Bahkan, di
depannya mulutku secara terkunci tak mampu bicara. Tak ada yang tahu betapa
rindu ini menggebu dalam panjangnya malam. Tentang bagaimana keterjagaan
perasaan ini menjadi benteng yang dirambati lontar dan lumut. Mungkin bahkan
tak ada yang mengerti bahwa bara yang membeku dalam es-pun mencair dalam satu
kedipan mata. Semuanya menjadi riak-riak yang bergelung dan tandus sekaligus.
Ben yang tampaknya melihat celah
abnormal langsung menarik tanganku melewatinya tanpa sepatah katapun. Kami
berjalan menjauh. Menjauh dari keramaian dan membiarkannya menjadi bagian yang
tertinggal. Samar-samar kudengar Diga berkata “aku menang”.
(Kriingggggggg!!!!!!!!! Dan jam kodokku
berbunyi sangat keras. Ahhh… ternyata sudah pagi)
Bubu lagi aja biar mimpi lagi ketemu Ben tanpa cong ahahaaaa
BalasHapusBen itu anak baik yang tidak akan muncul hanya karena ada orang yang menginginkannya datang.
BalasHapusBerarti dolob tergolong anak tidak baik karena sering muncul saat orang tak menginginkannya datang
BalasHapusBerarti dolob tergolong anak tidak baik karena sering muncul saat orang tak menginginkannya datang
BalasHapus