Suasana di dalam terlihat sangat ramai.
Bunga-bunga cantik bertaburan di setiap sudut. Aroma masakan dan kue
mendominasi selera yang meletup tanpa ampun. Belum lagi barisan orang-orang
yang mengular layaknya semut membuatku mau tak mau harus melepas kata-huh- berkali-kali. Hal ini masih
diperparah dengan AC dan kipas yang tak mampu menjadi juru selamat ruangan ini.
Akhirnya akupun memilih menepikan hati di sudut ruang sambil menunggunya. Gila
saja aku nekat datang ke sini sendirian padahal dia sudah mewanti-wanti sejak
awal. Tetapi nasi sudah menjadi rames dan semua keadaan ini mengaduk perasaanku
menjadi gemes.
“Dia gak datang, Tan?” Tanya Ben yang
sejak awal kupaksa menjadi teman semeja dalam dua jam ini. Entah atas alasan
pertemanan atau karena kasihan, dia mengiyakan saja permintaanku. Aku bahkan
bersyukur sama Tuhan karena di tengah kesumpekan ini tampaknya hanya dia yang mengerti kegelisahanku.
“Mungkin terlambat meski mungkin alibi
ini terkesan mengada-ada,” jawabku penuh realistis.
“Kota ini terlalu kecil untuk memiliki
kapasitas macet seperti Bandung dan Jakarta. Dan di kota yang sekecil ini kamu
memiliki alasan bodoh yang paling actual,” bantah Ben.
“Aku hanya berusaha berdamai dengan
keadaan, Ben. Kamu jangan bikin aku senewen parah,” tukasku cemberut.
‘Yap, santai saja,” katanya sambil
menyodorkan es krim lemon. Meski bukan keinginan tapi lemon juga bukan pilihan
yang buruk pikirku sambil melumerkan es krim di mulut. Kami mengobrol setengah
jam kurang lebih hingga barisan ular tinggal menjadi barisan kancil sampai dia
mengucapkan kalimat yang membuatku terperangah.
“Tan?”
“Hemm…” kataku masih berkonsentrasi
pada es krim.
“Aku pikir dia tidak akan datang. Ya, aku
hanya menyampaikan pikiran lelaki secara bodoh tetapi logis. Tetapi aku tentu ingin
mendengar perasaanmu, kadang-kadang wanitakan memiliki pikiran yang jauh lebih
kompleks. Bagaimana?” tanyanya menantang.
“Kita tunggu 15 menit lagi. Kalau dia
tak datang aku akan traktir kamu es krim tiga hari berturut-turut” jawabku.
“Tentu saja deal,” katanya sambil tersenyum penuh keyakinan. Dan kau tahu yang
selanjutnya terjadi? Bahkan di menit ke-20 dia tak menampakkan batang
sepatunya. Sungguh keadaan yang mengerikan. Tanpa berlama-lama Ben memberi
tanda bahwa kami harus segera ikut andil mengantri. Sebagai orang yang sudah
terlanjur kalah aku mengekor di belakangnya.
Komentar
Posting Komentar