Sesi Puncak (Repertoar V)

Suasana di dalam terlihat sangat ramai. Bunga-bunga cantik bertaburan di setiap sudut. Aroma masakan dan kue mendominasi selera yang meletup tanpa ampun. Belum lagi barisan orang-orang yang mengular layaknya semut membuatku mau tak mau harus melepas kata-huh- berkali-kali. Hal ini masih diperparah dengan AC dan kipas yang tak mampu menjadi juru selamat ruangan ini. Akhirnya akupun memilih menepikan hati di sudut ruang sambil menunggunya. Gila saja aku nekat datang ke sini sendirian padahal dia sudah mewanti-wanti sejak awal. Tetapi nasi sudah menjadi rames dan semua keadaan ini mengaduk perasaanku menjadi gemes.

“Dia gak datang, Tan?” Tanya Ben yang sejak awal kupaksa menjadi teman semeja dalam dua jam ini. Entah atas alasan pertemanan atau karena kasihan, dia mengiyakan saja permintaanku. Aku bahkan bersyukur sama Tuhan karena di tengah kesumpekan ini tampaknya hanya dia yang  mengerti kegelisahanku.

“Mungkin terlambat meski mungkin alibi ini terkesan mengada-ada,” jawabku penuh realistis.

“Kota ini terlalu kecil untuk memiliki kapasitas macet seperti Bandung dan Jakarta. Dan di kota yang sekecil ini kamu memiliki alasan bodoh yang paling actual,” bantah Ben.

“Aku hanya berusaha berdamai dengan keadaan, Ben. Kamu jangan bikin aku senewen parah,” tukasku cemberut.

‘Yap, santai saja,” katanya sambil menyodorkan es krim lemon. Meski bukan keinginan tapi lemon juga bukan pilihan yang buruk pikirku sambil melumerkan es krim di mulut. Kami mengobrol setengah jam kurang lebih hingga barisan ular tinggal menjadi barisan kancil sampai dia mengucapkan kalimat yang membuatku terperangah.

“Tan?”

“Hemm…” kataku masih berkonsentrasi pada es krim.
“Aku pikir dia tidak akan datang. Ya, aku hanya menyampaikan pikiran lelaki secara bodoh tetapi logis. Tetapi aku tentu ingin mendengar perasaanmu, kadang-kadang wanitakan memiliki pikiran yang jauh lebih kompleks. Bagaimana?” tanyanya menantang.

“Kita tunggu 15 menit lagi. Kalau dia tak datang aku akan traktir kamu es krim tiga hari berturut-turut” jawabku.

“Tentu saja deal,” katanya sambil tersenyum penuh keyakinan. Dan kau tahu yang selanjutnya terjadi? Bahkan di menit ke-20 dia tak menampakkan batang sepatunya. Sungguh keadaan yang mengerikan. Tanpa berlama-lama Ben memberi tanda bahwa kami harus segera ikut andil mengantri. Sebagai orang yang sudah terlanjur kalah aku mengekor di belakangnya.

Komentar