Tentang Mustakaweni Maling (Part 1)

 Sadar atau tidak, Yogyakarta sudah menjadi rumah segala bangsa bagi para pelancong dari berbagai belahan dunia. Selain kental dengan budaya Jawa, Yogyakarta menawarka sejuta kata eksotis dan romantis bagi para penikmat seni. Salah satunya, aku yang beruntung dapat menyaksikan pagelaran wayang wong pada sabtu malam (31/1). Pertunjukan yang berjudul “Mustakaweni Maling” ini digelar di Concert Hall Taman Budaya Yogykarta.

Berbicara tentang seni tradisi, tampaknya tak pernah habis diperbincangkan. Nah, pengalaman menyaksikan kisah cinta Mustakaweni yang mengharu biru ini yang ingin saya bagi dengan kalian. Begitu acara dibuka, suara MC menyambut para hadirin yang duduk manis di kursi penonton. Pembukaan disampaikan dalam bahasa Jawa alus. Meskipun terdapat beberapa frase yang kurang saya pahami, tetap saja sambutan ini terasa mewah seperti pada upacara perkawinan. (Sebenarnya malu tidak begitu mengenal baik budaya sendiri).

Part kedua gendhing pembuka yang jos gandhos langsung mengudara. Suasana mistispun menyelimuti ruangan. Sayapun larut dalam dalam alunan gendhing yang begitu energik dan menawan. Selain gendhing Jawa, pertunjukan ini juga merupakan salah satu bentuk akulturasi budaya. Hal ini terihat dari dimasukkannya lagu-lagu sholawat dalam gendhing-gendhing yang dimainkan. Sholawat ini semakin menunjukkan bahwa budaya Jawa fleksibel disandingkan dengan budaya-budaya yang lain.

Bagian yang paling menarik dari pertunjukan ini adalah aransemen musik yang luar biasa dengan tata kostum yan mewah. Kostum yang dipakai para pemain tetap mengedepankan nilai klasik tanpa mengesampingkan cita rasa estetik. Para penari dan tokoh utama terlihat cantik dan gagah dalam balutan busana yang elegan. Begitu pula kostum para raksasa yang berambut panjang lebat (jimbrak-jimbrak) terlihat unik.

Komentar