Dan aku membencinya saat seperti ini aku
masih menyebut namanya. Bahkan, dalam malam sepi dan hiruk pikuk aku masih
diam-diam merindukannya. Dan yang lebih parahnya lagi, tak pernah sekalipun aku
berusaha membunuh rasa. Semakin besar aku membencinya bayangannya
semakin jelas menyapa.
Tulisan itu aku temukan di baju Nias
sesaat setelah kami berenang. Mungkin sesuatu dari masa lalunya kembali
menyeruak pikirku singkat. Kumasukkan kertas itu rapi seperti sebelumnya.
Serapi aku menyimpan nama seseorang yang… ah sudahlah. Mari aku lanjutkan
cerita pertemuanku dengan Nias 4 tahun yang lalu.
Saat itu senja pukul 17 lewat 22.
Seorang pemuda membawa layang-layang setengah robek. Tanpa basa-basi dia
menghampiriku dan memintaku memegang salah satu sisinya.
“Tolong ya, aku butuh bantuanmu,”
katanya saat itu.
Aku tidak mengenal pemuda ini. Tapi aku
pikir tak ada salahnya membantu bukan? Lalu akupun mengikuti perintahnya tanpa
bertanya. Dia sibuk mengeluarkan lem dan gunting. Aku mencium aroma vanilla and something sweet. Sebuah
kolaborasi rasa yang menggoda (ehem, untuk ukuran cowok maksudku).
Nias |
“Yip, makasih ya,” katamu begitu
robekan layang-layang tersamar oleh lem. (Untuk memberikan kesan dekat, aku memakai
sapaan aku-kamu untuk menyebut kami)
“Aku suka pantai ini. Bersih, sepi, dan
anginnya selalu bersahabat,” katamu membuka percakapan. Bahkan, ketika aku
masih diam, kau malah mengisahkan tentang banyak hal. Ya, kurasa ini semacam kesanmu.
“Aku belum lama tinggal di sini. Baru
beberapa bulan yang lalu tapi aku merasa menemukan jiwaku di sini. Aku merasa
dekat tanpa risi. Pantai ini selalu menyapaku,” katamu panjang lebar.
Sebuah cerita yang cukup intim meski
tanpa perkenalan. Bahkan, kau tak pernah menanyakan namaku sampai
berminggu-minggu kita menghabiskan waktu di pantai. Ok, fine, memang sebagian besar kamu yang ngomong dan aku berlaku
sebagai pendengar setia. Tapi setidaknya kita bisa disebut tetap berkomunikasi
bukan? Hehe… Dan gilanya aku tak pernah bosan mendengar meski ceritamu kadang
ngawur. Dari sanalah pertemanan ini terjalin tanpa perkenalan satu sama lain.
“Woi… ayo keburu malam!” teriak
seseorang dari belakang kami.
“Sebentar,” jawabmu. Kaupun segera
mengambil baju di samping istana pasir yang kita bangun.
“Aku pergi dulu. Diselesaikan ya.
Sayang banget kalau kolamnya gak jadi karena aku pergi,”katamu sambil
mengangkat layang-layang. Aku mengangguk. Kaupun pergi sambil berlari-lari
kecil. Aku kembali tenggelam dengan istana pasir hingga tanpa sadar ternyata kau
berjongkok di belakangku.
“Aku Nias. Senang bisa menghabiskan
sore bersamamu,” katamu lembut. Aku tersenyum. Dan kamupun tersenyum. Sumpah!!!
aku menggigit bibir. Lekukan bibirnya simetris sempurna. Lalu kau berlari
meninggalkanku yang masih termangu. Itulah hari aku tahu namanya.
Sekaligus sebuah persembahan senyum termanis yang pernah kulihat.
Komentar
Posting Komentar