Kemarin aku melihatmu berselasar di
tepi pantai dengan bertelanjang kaki. Dengan jeans digulung setengah lutut dan
kaos putihmu, kau terlihat gagah dan menarik. Matamu menerawang jauh ke lautan.
Entah apa yang ada dalam pikiranmu, aku tak tahu. Apakah hidupmu, masa depanmu, keluargamu,
karir, atau mungkin saja aku. Sedikit berjingkat kusejajarkan badanku dengan
pandangan yang kurang lebih kubuat sama. Kosong. Ke laut. Dan sedikit berkedip.
Ombak tetap saja ramai tanpa peduli kita yang diam. Sekian detik pertama, kau
tetap tak bereaksi, begitupun aku yang tetap keukeuh mempertahankan sikap bisu. Sekian detik berikutnya, kau
mulai melirikku. Tentu saja kau menyadari kehadiranku. Kau mulai tersenyum,
lebar, dan merekah. Aku yang tak pandai menerka tetap saja tersenyum. Dan amazing! Ini kali pertama kita saling
mengumbar senyum (sejak bertahun-tahun perkenalan kita). Ini isyarat pertama
(mungkin) kita bisa berteman. Tapi sebentar, aku tak mau berspekulasi untuk
hal-hal yang mungkin menyakitkan.
“Kau
menikmati senja ini?” tanyamu pelan.
“Sangat.
Buatku senja selalu damai dan menarik.”
“Dan
khidmat,”tambahmu.
Kitapun
kembali tersenyum simpul. Perasaanku berubah menjadi lebih hangat. Bagaimana
ya, dengannya? Ah, lagi-lagi aku tak boleh banyak menduga-duga. Senyum saja
cukup untuk saat ini, batinku. Anganku langsung putus sepersekian detik
berikutnya ketika tiba-tiba jemarimu menggenggam tanganku. Jantungku berdetak
lebih cepat dan sedikit tak teratur. Dalam kepanikan yang serba mendadak, aku
justru mengeratkan jemariku dalam genggamanmu. Mungkin tindakan bodoh tapi aku
terlalu lugu untuk melewatinya. Seneng? Suka? Tidak!!! Aku cuma buncah oleh bahagia.
Tuhan keterlaluan dalam memberi kejutan! Sumpah! Hehe… Dan aku
menikmati kejutan gengaman tangan ini tanpa bisa mengelak dan pasrah bahwa aku
berhak bahagia.
“Kamu
suka aku begini?” tanyamu diantara kerubut pikiranku yang entah.
“Suka…”
“Apa kamu nyaman begini?”
“Kenapa kau tanyakan hal yang bisa
kau tebak dari mataku?” tanyaku protes.
Kamu tersenyum dengan begtu manis.
Aku? Meleleh. Kau berdiri semakin dekat di depanku. Aku mengabaikan ombak, aku
mengabaikan basah, aku mengabaikan semburat ungu yang semakin pekat.
“Aku mencintaimu dan aku…”
“Demikian juga denganku,” potongku
cepat. Inikan kalimat yang aku tunggu sejak lama sayang. Bagaimana aku akan
melewatkan momen seperti ini. Perasaanku semakin tak karuan. Nada riang tentu
saja. Aku tersenyum, kau pun tersenyum (walau sedikit masam).
“Diza,” katamu pelan,”bisakah aku
mencuri sedikit waktumu? Dengarkan aku sebentar saja.”
“Apapun yang kau katakan,” jawabku
mantap.
“Aku mencintaimu, Za. Lebih dan
dalam.(Aku menarik nafas) Sejak kita ketemu pertama kali di pantai ini sekian
tahun yang lalu. Perasaanku semakin larut meski kita tak pernah bersapa. Kita
menikmati kedekatan dalam diam dan penuh penghormatan. Bagiku tak ada yang lebih
megah dari pada senja di pantai. Kita bertemu langsung dengan lukisan Tuhan
yang tak pernah membuat bosan. Tapi… (kamu menghela nafas) kamu juga perlu tahu
bahwa dalam waktu-waktu diam kita, aku merasa memiliki kesempatan yang lebih
baik. Dan aku tak kuasa pada hati yang berbeda. Kedengarannya klise tapi aku
tak mau jadi pengecut. Dengan kebesaran hati aku mengatakannya padamu.
Mengertilah, aku harus pergi, maaf!”. Kau melepas genggaman dengan sedikit
kasar dan beringsut pergi meninggalkan bayang-bayang hitam senja. Dan
sumpah! Kejutan Tuhan luar biasa (serius)!
Aku terpaku tanpa tahu harus berkata
apa. Sekian detik yang lalu dan sekian detik yang sekarang. Begitu cepatnya romansa
membalik-balikkan hati manusia. Sedih memang tapi aku tak ingin menatap
bayangannya lebih lama. Kualihkan mataku pada deburan ombak.
Basahnya mengaburkan apa yang terjadi pada wajahku dan hatiku. Aku menarik
nafas panjang lalu kuhempaskan bersama pecahnya temaram. Aku tersenyum. Ini
senjaku. Semoga senja kalian yang
membaca selalu indah dan ceria. Kudoakan dan kuamini.
Komentar
Posting Komentar