Selamat sore sayang,
Kemarilah, Ibu ingin dekat
denganmu. Bagaimana kabarmu? Saat ini senja sedang bergulir dengan syahdunya di
ujung barat kota ini. Kemari! kemarilah, Nak. Temani ibu bercerita dan melewati
sore kali ini. Senja masih menjadi waktu favorit Ibu dan kali ini marilah kita
sedikit mengobrol.
Nak? Maafkan Ibu jika kurang ramah
saat menyapamu. Ibu harap kamu mau mendengarkan sedikit kata-kata Ibu. Hingga
saat ini tak ada yang mampu mengalahkan perasaan ini padamu. Ibu tetap
mencintaimu seperti layaknya perempuan-perempuan yang lainnya. Berharap ada
saatnya kita bisa menikmati waktu bersama. Meniup lilin saat usiamu bertambah, menyiapkan
seragam sekolah, menyiapkan sarapan, menyalakan kembang api saat tahun baru,
mengejar kucing yang pura-pura malu saat kau pegang ekornya. Dan tentu kita
akan berpiknik dengan ayahmu sebagai keluarga yang lengkap. Harapan Ibu tidak
terlalu berlebihan bukan?
Sayang, Ibu akan senang menunggumu
pulang sekolah, berlari-lari, dan menanyakan “Masak apa hari ini, Bu?”. Dan Ibupun
akan senang saat melihat bekal sekolahmu habis dan dengan bangga kamu akan
bercerita bahwa kamu menghabiskannya bersama teman-temanmu. Lain kali Ibu akan
membawakan bekal yang lebih banyak untukmu sayang. Ibu janji.
Hai,Kuda...tetaplah kuat |
Dan Ibu juga tak akan lupa untuk
selalu mengantar tidurmu dengan dongeng anak-anak. Kamu ingin Ibu bercerita apa
nanti malam? Mungkin kamu bosan dengan cerita fiksi? Nanti Ibu akan meminta
ayahmu untuk menceritakan pahlawan heroik dari tanah Jawa. Jenderal Sudirman.
Ada kata-kata yang sangat Ibu ingat sampai saat ini, yaitu ketika Jenderal
Sudirman ingin bergerilya dan meminta izin kepada Presiden Sukarno. Pak Karno
meminta Jenderal Sudirman tetap berada di Kota Jogja karena beliau baru saja
keluar dari rumah sakit akibat penyakit tuberkolosis akut. Ditambah saat itu
keadaan perang tidak menentu begitu sangat carut marutnya. Kamu tahu sayang?
Apa jawab Sang Jenderal? Pak Jenderal menjawab dengan mantap,”Pak Presiden, yang sakit itu Sudirman.
Panglima Besar Jenderalnya tidak pernah sakit. Tempat yang paling tepat bagi
saya ya di tengah-tengah rakyat. Bersama dan mendampingi rakyat”. Jawaban
yang luar biasakan, Sayang. Ibu harap, saatnya nanti kamu bisa meneladani sikap
beliau. Setiap ingat kata-kata itu, Ibu merinding. Bahkan, ketika kemarin
melihat lukisan Sang Jenderal di istana negara, debar ini semakin kuat. Buncah
oleh perasaan haru dan bangga, kita pernah punya pahlawan yang begitu luar
biasa di masa lalu. Sayang, nanti ayahmu akan bercerita yang jauh lebih hebat
tentang sejarah bangsa dan kota ini. Kota yang meniupkan kedamaian dan ruh
keromantisan di setiap sudutnya. Itu yang selalu ayah dan ibu rasakan saat di
banyak kesempatan mengelilingi kota ini.
Nak, terlalu banyak yang ingin Ibu
bagi senja ini padamu. Terlalu banyak cerita. Terlalu banyak cinta. Namun, hari
di luar sudah mulai menggelap. Lain waktu semoga kita bisa bercerita yang lebih
banyak. Salam kangen dari Ibu dan ayah
Itulah
salah satu penggalan surat dari ratusan surat yang baru kubaca hari ini.
Tulisan tangan ibuku yang tak sempat kulihat wajahnya lebih dari selembar foto.
Tentu saja aku tak semudah anak-anak lain yang cepat mengenal kedua orang
tuanya saat lahir ke dunia yang katanya keras ini. Yah, dunia yang keras karena
aku tak sempat melihat senyum di kedua bibir orang tuaku. Aku terlahir sebagai
anak tanpa bapak. Dan tanpa ibu. Ya, aku lahir yatim sekaligus piatu. Takdir
yang menyedihkan? Ya, bagi sebagian besar orang tapi tidak untukku. Aku telah
berdamai dengan nasip dan memandang ini sebagai bagian dari sandiwara alam yang
indah. Seindah harapan dan kisah kedua orang tuaku yang begitu manis.
Ibuku
bukan wanita heroik seperti Cut Nyak Dien yang berperang untuk negeri atau
sepandai R.A.Kartini yang memiliki koresponden luas dengan teman-temannya di
negeri asing. Ibuku hanya wanita desa yang kata orang selalu belajar demi
sebuah cita-cita. Ibuku lulusan fakultas bahasa dan suka menulis banyak cerita.
Aku sangat bangga pada beliau karena aku satu-satunya pewaris tunggal yang sah buah
pemikirannya. Ayahku yang lulusan managemen akuntansi publik adalah seorang
yang kritis dan penyuka sejarah. Salah satu kisah yang sering kudengar adalah
tentang Jenderal Sudirman yang juga merupakan tokoh favorit ibuku. Di sinilah
aku mulai mengerti bahwa sejarah memiliki eranya sendiri yang tak pernah lekang
dari nilai kepahlawanan termasuk kisah Jenderal Sudirman.
Hampir
sebagian besar orang mengenal sosok Jenderal Sudirman karena taktik perang yang
luar biasa, yaitu perang gerilya. Salah satu perjuangan untuk menghancurkan
musuh dengan mengarungi daerah pedalaman dan gunung-gunung sebagai salah satu
basis pertahanannya. Sang Jenderal telah memimpin gerilya dalam kurun waktu 8
bulan dalam misi mempertahankan merah putih tetap berkibar di tanah ini.
Bahkan, jauh sebelum itu berbagai pertempuran sengit dalam rangka mencapai dan
mempertahankan kemerdekaan telah beliau lalui seperti perang Ambarawa dan
Serangan Umum 1 Maret 1949. Di tengah situasi yang genting tersebut Sang Jenderal
membuktikan darma baktinya pada ibu pertiwi dengan memimpin perjuangan atas
nama rakyat di tengah kondisi fisik yang cukup parah. Sebuah kisah unik
terselip di sini yang menurutku sangat mengharukan. Sang Jenderal yang lahir
dari pasangan Karsid dan Siyem adalah keturunan wong cilik yang ikut berjuang
dan sejak dalam kandungan. Sebelum Sang Jemderal lahir, keluarga Karsid dan
Siyem meninggalkan daerah Kalibogor menuju Dukuh Rembang pada tahun 1915.
Perjalanan yang memakan waktu berhari-hari ini ditempuh dengan berjalan kaki
dengan jarak tempuh kurang lebih 145 km. Kondisi fisik Siyem yang sedang hamil
dan jalanan yang berbatu naik turun dan harus menyeberangi sungai merupakan
perjalanan yang sangat berat. Bahkan, tidak jarang pasangan ini kehujanan hingga
basah kuyup. Air mata Siyempun melebur bersama hujan. “Oh ngger, dadio pandadahmu.” (Anakku, jadikanlah penderitaan ini
sebagai penggembleng jiwamu). Benar saja, doa seorang ibu adalah doa yang
paling manjur dan didengar Tuhan. Kelak, Anak yang lahir dari rahim Siyem ini
menjadi prajurit sejati yang memimpin gerilya yang lebih jauh lagi sekitar 693
km hingga mampu membuat pasukan Belanda morat-marit. Setiap membaca replika
cerita ini nada buncah oleh kagum memenuhi hatiku, persis seperti yang dirasakan
ibu. Seorang anak wong cilik yang lahir dari sebuah perjalanan yang sarat akan
perjuangan dan besar ditempa kerasnya keadaan hingga menjadi seorang yang
tangguh dan berjiwa ksatria.
Seperti
yang sering kita dengar bahwa Sang Jenderal memiliki jiwa kepemimpinan yang
mumpuni, ahli dalam penyusunan strategi dan taktik perang. Hal ini pula yang
membuat NICA harus meninggalkan Ambarawa dan menepi ke Semarang dalam
pertempuran Ambarawa. Sekali lagi Sudirman membuktikan semangat ksatrianya dengan
berhasil menjadi Panglima Besar pada usia yang masih sangat muda, 31 tahun.
Sebuah prestasi yang hanya dapat diraih pejuang gigih bukan sekedar demi
pamrih. Pidato pertama Sang Jenderal setelah dilantik menunjukkan Sudirman
bukan saja seorang yang pantang menyerah tetapi juga religius. “…Perjuangan kita harus didasarkan atas
kesucian. Dengan demikian, perjuangan yang lalu merupakan perjuangan antara
yang jahat melawan kesucian. Kami percaya bahwa perjuangan yang suci itu
senantiasa mendapat pertolongan dari Tuhan. Apabila perjuangan kita sudah
didasarkan pada kesucian maka perjuangan inipun akan berwujud perjuangan
kekuatan lahir melawan kekuatan batin. Dan kita percaya, kekuatan batin inilah
yang akan menang sebab jikalau perjuangan kita tidak suci, perjuangan itu hanya
akan berwujud perjuangan jahat melawan tidak suci, dan perjuangan lahir melawan
lahir juga yang akhirnya tentu si kuat yang menang…” Pidato tersebut seakan
ingin memberikan pembelajaran bahwa perjuangan dalam rangka apapun harus
berlandaskan pada nilai ketuhanan. Tuhan adalah dzat murni yang menelengkupkan
harapan manusia sebagai doa semesta. Sekali lagi, Sang Jenderal membuktikan
bahwa dalam perjuangan tidak hanya sekedar butuh kerja keras dan kerja cerdas
tetapi juga kerja ikhlas.
Segala
hal yang dilakukan Jenderal Sudirman menunjukkan kekuatan pendirian dan kesetiaan
dalam memenuhi kewajibannya pada negara. Bukan saja sifat-sifat mulianya yang
patut diteladani tetapi juga semangatnya yang tak lekang oleh lelah. Dialah
pendekar harum yang mewangikan persada ibu pertiwi dengan sikap patriotik
sejati. Seperti ketika beliau memberi perintah angkatan perang Republik
Indonesia pada aksi militer yang pertama “Hai,
anak-anakku di sini Bapamu. Hai, anak-anakku di sini Bapamu. Hai, anak-anakku
di sini Bapamu: Ibu pertiwi memanggil. Ibu pertiwi memanggil. Ibu pertiwi
memanggil.” Pesan singkat yang menggambarkan semangat membela bangsa dan
negara yang luar biasa. Sosok yang sulit ditemui di era masa kini seperti yang
disebutkan penyair Hamka “Jiwanya tidak
mau damai-damaian, runding-rundingan tapi cintanya pada negara banyak sekali
meminta pengorbanan perasaannya.” Itulah Cerita Sang Jenderal Sudirman yang
matanya selalu berapi-api tak mengenal patah hati demi sebuah cita-cita
keutuhan kemerdekaan ibu pertiwi.
Ibu,
kini aku sedikit tahu tentang ksatria harum yang sering ibu baitkan dalam
tulisan-tulisanmu. Sungguh, Indonesia patut bangga memiliki pendekar yang
berselempang kata merdeka atau mati!.
Kehebatannya meniupkan ruh agung agar tiang-tiang kemerdekaan negeri ini tidak
tergoncang meremangkan bulu roma. Perjuangan beliau mengilhami rakyat, beliau
bukan saja tentara pembela rakyat tetapi juga muslim yang taat. Ibu, telah
sampai saatnya anakmupun jatuh cinta pada cita-cita Sang Jenderal. Mohon izin
ikut berperang. Salam dari anakmu, Nilam Kejora.
Komentar
Posting Komentar