Waktu telah menunjukkan dini hari. Namun, mata ini belum juga ingin bersegera melepas penat. Tampaknya dia masih ingin aku kembali mengisi memori-memori yang sekian tahun tertinggal di desa ini. Memang lama rasanya tapi semacam baru kemarin dan tiba-tiba aku sudah hampir berkepala 3. Sebuah pengakuan yang tak mudah bagi wanita manapun tentu saja. Umur masih perkara yang sensitif. Tapi itu tidak berlaku padaku. Aku mensyukuri setiap helai rambut yang rontok, setiap nafas yang berhembus, setiap kedipan mataku yang kadang ditusuk lelah, dan aneka macam lainnya.
Ya,
saat ini usiaku hampir 30 dan aku masih lajang. Sesuatu yang mulai
dipertanyakan orang hingga kanan-kiri mulai berbisik. Bahkan, orang-orang tua
sudah mulai sedikit menekan,”Wes
wayahe,Nduk.” Dan aku? masih baik-baik saja dan tidak bergeming pada
awalnya. Aku berjalan menikmati hidupku, setiap inchi dan detiknya. Hingga
sampai pada saat aku mulai tertarik mengamati bayi yang menyesap jari-jarinya, anak-anak
perempuan yang berkucir 2, bayi yang babbling,
dan romantisme pasangan muda yang tiap senja mendorong kereta bayi di halaman
rumah. Bagiku ini pemandangan yang mulai memantik emotik. Sangat emo sekali!!! Mungkin
begini perasaan para Ibu, pikirku. Akan tetapi, yang terjadi selanjutnya aku
masih merasa muda, menikmati kegiatan yang tak berujung pangkal, dan menjual
kelonggaran waktuku pada dunia. Hehe…
Bagi
sebagian besar orang (yang sudah berumur), ngomongin tentang nikah biasanya
menimbulkan derita batin tersendiri. Dan lagi-lagi fenomena belum menikah di
usia yang sudah dianggap wah inipun menyisakan kemelut yang cukup panjang.
Lihat saja dari pihak keluarga yang mulai mendorong, menanyakan, bahkan
menjodohkan. Macam salak saja harus dijodohkan agar berbuah wkwk… Sementara di
pihak individunyapun tanggapan beragam. Bagi pribadi yang cuek tanggapannya
paling juga apatis, ”Nikah? Helow kok kamu ngurusin aku banget sih? Kamu siapa?”.
Kamu pernah kena ungkapan semacam ini? Haha… kasihan. Tapi ini ada benarnya
juga lho, kadang kekepoan orang itu membuat orang yang berlabel lajang berumur
sebel minta ampun. Bagi yang berjiwa santai ya lain lagi jawabannya,”Yaaa...
nanti ada waktunya. Tunggu saja. Tak usahlah buru-buru.Tenang saja.” Adem ayem
gitu kalo denger jawaban begini tapi bagi penanya tentu semakin menimbulkan
sindrom yang dinamakan geregetan. Uhhhhh arghhhhh gitu… iyakan??? Haha…
Bagiku
menikah bukan perkara sederhana yang dengan gampang diputuskan ketika hati
mulai bertaut. Menikah, bagiku, membutuhkan lebih dari sekedar kata “iya”
karena di dalamnya ada serentetan komitmen yang berujung pada hak dan kewajiban
yang tidak mudah. Tentu semua orang berharap menikah dengan orang yang tepat
dan paling proporsional menurut kadar hatinya. Dan hal itu berlaku pula bagiku.
Aku yang penganut monogamipun ingin menikah tanpa berbagi dan memang sudah
diniati. Bukan karena dikejar usia dan tuntutan yang itu dan ini. Menikah
membutuhkan kesiapan mental, fisik, finansial, dan pengetahuan. Bukan sekedar
anut grubyuk. Kalaupun banyak pertanyaan,”Trus mau kapan nikah? Keburu tua!”
Senyumin aja. Orang lain tidak akan ikut menanggung jika nanti
pernikahan yang diharapkan gagal karena demi meladeni sebuah tuntutan bukan?
Semua yang menanggung pada akhirnya adalah individu masing-masing.
“Jadi,
kamu belum ingin menikah?” Ah, siapa sih yang tidak ingin menikah? Semua orang
tentu ingin menikah. Tapi aku akan menikah jika memang aku sudah
menginginkannya, bukan karena siapa-siapa atau apa-apa di belakangnya tapi saat
hatiku berkata “iya”. Jadi, kalian memaksakupun jangan salahkan jika harus
gigit jari. Maaf banget! Penjamin yang paling pasti adalah Tuhan. Dan akupun
menggantungkan doa-doa yang baik pada-Nya. Dan aku yakin bahwa doaku akan terjawab
dengan sempurna suatu ketika.
Komentar
Posting Komentar