Perang Jawa: Perang Nglawan Angkara



Masih ingat dengan sebuah puisi fenomenal berikut ini?

Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
Maju
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti sudah itu mati
Maju
Bagimu negeri menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru telah tercapai
Maju
Serbu
Serang
Terjang

Ya, itu adalah salah satu puisi hebat yang diciptakan maestro puisi Indonesia, Chairil Anwar. Berbicara tentang Perang Jawa tentu tidak bisa dilepaskan dari tokoh dibelakangnya, Pangeran Diponegoro. Dalam perjalanannya yang panjang, sejarang Perang Jawa sesungguhnya merupakan titik balik krusial bagi perjuangan dalam melawan kolonialisme di tanah Jawa. Perang yang berlangsung sejak 1825-1830 ini menyeret Pangeran Diponegoro dalam kontroversi panjang yang membawanya sebagai figur yang dikagumi, dicintai, sekaligus dibenci.

Momentum Perang Jawa benar-benar telah membawa sosok Pangeran Diponegoro dalam pusaran arus sejarah yang rumit. Meski demikian, tidak banyak orang yang kemudian mengetahui jejak Pangeran Diponegoro dalam menghalau para penjajah. Hal ini berkaitan erat dengan kesaktian dan jejak spiritualitas Sang Pangeran yang merakyat dan agamis sehingga tetap survive di tengah tekanan kolonialisme. Pangeran Diponegoro adalah sosok pejuang yang inspiratif. Ketegasan dan laku hidupnya yang peuh kesederhanaan membuatnya layak untuk diteladani. Masyarakat Jawa pada umumnya meyakini bahwa Pangeran Diponegoro dan pendukungnya memiliki kesaktian tertentu.

Pangeran Diponegoro yang memiliki nama kecil Bendoro Raden Mas Mustahar lahir di keraton Yogyakarta pada bulan puasa tahun 1785 atau 8 Muharram 1200 H. Pangeran ini merupakan satu-satunya keturunan HB III dengan R.A.Ayu Mangkarawati (seorang selir). Kelahiran menjelang fajar dengan pasaran Jumat Wage diyakini bahwa Sang Bayi kelak akan menjadi orang besar. Dan benar saja, kelak Pangeran Diponegoro aakan membawa petaka besar yang membuat Belanda kewalahan dan menderita kekugian yang sangat besar.

Sejak usia 7 tahun Pangeran Diponegoro keluar dari istana dan tinggal di Tegalrejo di bawah asuhan Ratu Ageng. Di bawah asuhan permaisuri HB I tersebut, Pangeran Diponegoro mendapatkan pendidikan keislaman, tradisi jawa, dan sosial kemasyarakatan dengan sering berbaur dengan rakyat di pasar dan sawah. Oleh karena itu, wajar sekiranya Pangeran Diponegoro memiliki pribadi kuat, ksatria yang berakhlak mulia, dan luas pengaruhnya dalam pergaulan tanpa melupakan jati dirinya sebagai orang Jawa.

Sejarah bangsa Indonesia mencatat bahwa Pangeran Diponegoro adalah seorang nasionalis yang peka terhadap lingkungan sosialnya. Perang Jawa adalah perang Pangeran Diponegoro bersama rakyat Jawa melawan kekuasaan kraton Yogyakarta yang tunduk di bawah pengaruh Belanda. Kondisi Jawa yang memprihatinkan akibat kesewenang-wenangan Belanda serta tiadanya kepemimpinan yang kuat telah membuat wibawa kraton Yogyakarta hilang. Sebagai anak tertua HB III, keprihatinan ini mengilhami perjuangan untuk melawan tindak kolonialisme hingga meletuslah perang yang dikenal dengan perang Jawa atau perang Diponegoro. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, Pangeran Diponegoro mengambil beberapa langkah yaitu: menyerbu kraton Yogyakarta, memetakan daerah perang, mempersiapkan pasukan perang, dan menyusun daftar musuh. Pasukan diponegoro menuai sukses di awal peperangan dengan berhasil mengendalikan Jawa Tengah dan mengepung Yogyakarta. Tepat tiga minggu setelah rumahnya di Tegalrejo diserang, pasukan Diponegoro berbalik menyerang  kraton Yogyakarta dari segala penjuru dengan kekuatan 6.000 pasukan.

Pertempuran terbukapun digelar. Jalur-jalur logistik dibangun dari wilayah satu ke wilayah lain untuk menyokong kebutuhan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu terus berlanjut sedang perang terus berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi untuk menyusun strategi perang. Serangan-serangan pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan. Mereka menggunakan alam sebagai senjata yang tak terkalahkan. Pada puncak pertempuran, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 serdadu sekaligus untuk menghentikan perlawanan Pangeran Diponegoro. Betapa besarnyanya perang yang terjadi saat itu! Hebat, ngeri, dasyat!!!

Ditinjau dari sudut kemiliteran, perang Diponegoro merupakan perang pertama yang ,melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik perang terbuka (open warfare), perang gerilya (guerrilla warfare) yang dilaksanakan melalui teknik hit and run dan penghadangan (surpressing). Perang ini juga lengkap dengan taktik urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dan kegiatan telik sandi (spionase) antara kedua belah pihak.

Tahun 1829 Pangeran Diponegoro kembali dengan taktik perang gerilya. Perubahan taktik ini membuat pihak Pangeran Diponegoro menguasai Bagelen, sebagian Sungai Progo, Sungai Bogowonto, dan Banyumas. Pada tahun ini pula terjadi kemunduran bagi pasukan Diponegoro. Strategi benteng stelsell semakin mempersempit gerak pasukan Pangeran Diponegoro. Strategi ini juga membuat mereka hidup dalam keprihatinan yang luar biasa. Selain itu, mewabahnya kolera, malaria, dan disentri membuat banyak panglima perang dan pendukung Diponegoro menyerahkan diri kepada Belanda.

Pada 8 Maret 1830 M masih di bulan puasa, Belanda menjalankan siasatnya untuk menangkap Pangeran Diponegoro.  Selanjutnya, gubernur Belanda, De Kock mengundang Diponegoro untuk melakukan perundingan perdamaian di kantor residen di Magelang. Pangeran Diponegoro berangkat dengan diikuti oleh 800 pendukungnya. Banyaknya pasukan yang mengikuti ini membuat Belanda khawatir dan malah dipersilahkan menginap di Matesih sampai bulan puasa berakhir dan De Kock sangat menyesali keputusannya ini.

Tanggal 28 Maret 1830, De Kock kembali mengundang Pangeran Diponegoro. Undangan ini tentu saja hanyalah kedok untuk menangkap Diponegoro. Sesampai di Magelang, Diponegoro menemui De Kock dan diadakan perundingan. Pada perundingan tersebut Pangeran Diponegoro mengajukan syarat perdamaian agar dirinya menjadi Panatagama di tanah Jawa. Perundingan tidak menghasilkan kesepakatan dan Diponegoropun ditangkap. Pengikut Diponegoro berusaha membebaskan tetapi dicegah oleh Pangeran Diponegoro. “Ora popo. Wes dadi garise. Iki wulan Syawal. Ora apik ono perang lan keributan,” begitu cegah Pangeran Diponegoro. Akhirnya Pangeran Diponegoropun diasingkan hingga ajalnya menjemput pada usia 70 tahun di Makasar.

Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang ini memakan korban sebanyak kurang lebih 8.000 serdadu eropa, 7.000 prajurit pribumi, dan kerugian material sebanyak 20 juta gulden di pihak Belanda. Sementara di pihak Pangeran Diponegoro telah kehilangan lebih dari 200.000 pasukan Jawa dan material yang tak terhitung jumlahnya. Walaupun kekalahan diderita oleh pihak Diponegoro, namun semangat juang mereka tidak pernah dilupakan sejarah. Tidak ada perjuangan yang sia-sia. Sekalipun Belanda semakin berkuasa di Pulau Jawa dengan dicaploknya beberapa wilayah mataram tetapi Diponegoro dan pendukungnya telah membela kehormatan bangsanya.

Pesan Diponegoro: Aja angalaaken wong kang becik
                               Lan aja ambeciaken wong kang ala
                               Lan aja anganiaya wong akeh
(Jangan menjelekkan orang baik. Jangan menganggap baik orang yang jahat dan jangan menganiaya orang banyak)

Sumber Referensi: Syamsul Ma’arif.2014. Jejak Kesaktian dan Spiritual Pangeran Diponegoro.Yogyakarta: Araska.

Komentar