Beberapa waktu belakangan ini, aku
banyak menghabiskan waktu di kabupaten terluas di DIY. Kabupaten yang mahsyur
karena potensi wisata alam paling hits dan menjadi tranding topic di berbagai media. Yups, aku sedang berbicara tentang
Gunungkidul. Tanah yang kuhirup baunya ketika pertama ibu melahirkanku ke
dunia. Daerah yang tanahnya berkolaborasi apik dengan batuan karst dan
menghasilkan kerak di cerek air. Dataran tinggi yang menghijau di musim hujan
dan meranggas di musim kemarau. Wilayah yang lengkap dengan kebun budaya, kebun
adat istiadat, pusar dari tali keramahan masyarakat, dan segudang kuliner yang
ndeso semacam jangan lombok maupun makanan ekstrim seperti walang dan uler
goreng.
Sayangnya, kali ini aku tidak akan ngobrol
maupun ngobral keelokan alam yang ditawarkan tanah yang berslogan handayani
(hijau, aman, normatif, dinamis, amal, yakin, asah asih asuh, nilai tambah, dan
indah) ini. Aku mau rasan-rasan
tentang hal yang kurasakan di penghujung tahun. Kenapa disebut waktu krusial
sekaligus rawan? Hari ini, 9 Desember 2015 ada hajat nasional yang diberi judul
pilkada alias pilihan kepala daerah. Terlepas dari tujuan yang tentu sangat
mulia, yaitu memajukan Gunungkidul, aku ingin menuliskan beberapa hal yang terjadi.
Pertama, aku yakin setiap orang ingin
hidup makmur (kalau kata makmur terlalu tinggi maka aku menggantinya dengan
kata hidup lebih baik). Prosentase taraf hidup baik tentu diukur dari banyak
hal. Baik itu peningkatan kapasitas fisik maupun non-fisik, perkembangan
statistik berupa penurunan angka kemiskinan, perbaikan bidang pendidikan,
kesehatan, pemerhatian budaya, kuatnya tiang ekonomi, dan lain sebagainya. Akan
tetapi, pencapaian tujuan tersebut sering kali menumpulkan pola pikir sehingga menghasilkan tindakan-tindakan yang
(jujur) sungguh memuakkan.
Lihat saja saat kampanye maraton yang
berpusat di Lapangan Karangrejek awal Desember lalu. Setiap calon yang
memasarkan diri mengerahkan massa yang luar biasa banyak dengan tindakan yang
menurutku sangat kurang etis. Para
simpatisan (ehem… berbayar) seakan
menjadi dewa jalanan. Pengguna jalanan harus mengalah ketika berpuluh-puluh
truk, motor, dan kendaraan pribadi yang berular tangga lewat di jalanan. Polisi
yang diterjunkanpun bukan main jumlahnya (plus sibuknya). Herannya, hampir 80%
para pengendara motor tidak memakai helm
tanpa ditilang (Ah, sudah biasa). Bahkan, tidak sedikit yang mengubah
knalpotnya menjadi knalpot gaul
blombongan lengkap dengan adegan fenomenal
tril-trilan (dalam hati aku
membatin: Apakah nyawamu lebih rendah harganya dari 50.000?) Beberapa
ibu-ibu terlihat menggendong
bayi-bayinya di siang yang panas (Apakah suaramu lebih
berharga dari anak yang katanya kau cintai? Belum lagi umpatan kata-kata kotor
menjadi menu wajib yang bisa didengar dan ditiru dengan mudah. Pendidikan
karakter anakmu seharga 50.000 ya?). Sementara yang datang dengan mobil
angkutan bus wisata, truk, mobil carteran tidak kalah seru. Simbah-simbah
berjarik yang menenteng botol mineral, bapak-bapak yang bercaping, anak-anak
muda yang gaul dengan sepatu tinggipun tak mau kalah. (Note: saat itu Jalan
Baron menjadi jalur resmi yang kulewati bahasa kerennya bisa disebut saksi
hidup hehe…) Mereka datang dengan satu
tujuan: sebagai simpatisan atau demi beberapa kilo beras? Seperti inikah
pendidikan politik yang katanya membuat mereka melek politik? Menurutku ini pembodohan politik! Jelas bukan rahasia lagi mereka datang secara gratis
(ehemmm). Bukankah selalu ada harga yang bisa dibayar? Termasuk dalam panggung
politik yang katanya mendewasakan ini (hahahaha…)
Alangkah lebih arifnya jika pendidikan
politik bukan sekedar bertumpu pada tumpulnya harga nominal. Penyadaran arti
penting demokrasi tentu bukan harga mati yang hanya dapat dilaksanakan melalui kampanye
(yang minim kesadaran harga nyawa dan harga diri-mungkin). Coba kalau peserta kampanye tertib
dengan atribut keselamatan yang lengkap dengan sistem yang santun tentu
kata-kata kampanye semau gue bakal
bias adanya (tapi tampaknya sangat sulit).
Kedua, bukan rahasia lagi kalau
umpan-umpan nominal adalah kenyataan yang menggiurkan. Di sekitar rumahku,
calon tertentu (sekedar catatan tahun ini Gunungkidul punya 4 calon) membagikan
souvenir berupa sarung cantik. Bahkan,
bapakku mendapat 4 sekaligus. Aduh, makasih ya pasangan calon yang berbaik hati
membelikan peranti ibadah buat bapakku hehe… Pasangan yang lain tak kalah seru.
Setiap kepala diberi harga 25.000/orang.
Murah ya? Ah, itu juga udah makasih banget bisa buat beli pulsa buat telepon
pacar kan tinggal duduk manis dan pulang
dapat amplop wkwkk… Urusan nanti milih calon yang bersangkutan atau tidak
itu nomor dua hahaha…
Sedikit cerita, awal kuliah S1 aku
pernah memanfaatkan momen ini. Ceritanya, sebuah partai menjanjikan iming-iming
yang sebetulnya tidak menggiurkan. Aku dikontak oleh seseorang untuk meng-handle sebagai pembawa acara. Tanpa
banyak cincong akupun mengiyakan dan
acarapun berlangsung cukup meriah dengan jumlah pemuda yang hadir mencapai
50-an. Jumlah yang cukup banyak mengingat pemuda di daerahku termasuk gila
merantau. Ending-nya kami mendapat
sponsor peralatan olah raga dan sejumlah uang yang sampai saat ini aku tidak
tahu bentuk uang maupun barangnya. Motifku saat itu adalah agar masyarakat
memperoleh manfaat, itu saja. Terlebih, saat itu aku tidak mengiyakan akan mendukung
partai tersebut. Aku mengatakan bahwa massa pemuda di desa kami cukup besar
sehingga berpotensi menghasilkan suara tanpa merujuk ke partai yang di depanku
jadi aku tak punya kewajiban untuk mendukung partai tersebut haha... Hal yang
senada juga dilakukan bapakku yang mendapat souvenir cantik. Bapak secara tegas
menyatakan tidak akan memilih pemberi souvenir karena perbedaan kepercayaan.
Eitsss, jangan senang dulu karena tim
sukses sekarang lebih pandai. Biasanya mereka memasang telik sandi di desa-desa
yang telah diberi suntikan dana untuk memastikan bahwa desa tersebut memilih
pasangan yang diunggulkan. Di desa X masyarakatnya lebih cerdas. Kulihat
beberapa pasangan calon masuk dan dengan rela hati menerima semua uluran
kebaikan hati pasangan. Semua diterima baik barang maupun uang dan digunakan untuk
kemajuan desa (kas desa). Perkara pemilihan itu urusan hati. Ketika kutanya,
“Bagaimana kalau nanti ditanya tim sukses kok pasangan ini tidak menang?”.
Dengan enteng mereka menjawab, “Kami sudah berusaha sebaik mungkin tapi
pasangan yang itu lebih banyak ngasihnya.
Jadi tahun-tahun depan kalau mereka masuk lagi biar lebih gede sumbangannya”
Aku ketawa ngikik mendengar jawaban bapak ini. Pasangan calon pandai tapi
masyarakat sekarang juga lihai. Siapa membodohi siapa sekarang hahahaa…
Aku masih punya cerita yang di salah
satu media disebut sungguh-sungguh terjadi. Pasangan calon X beberapa tahun
yang lalu memberi bantuan berupa karpet masjid dan perbaikan genting secara full lengkap dengan janji menang atau kalah
tidak masalah. Setelah pilihan selesai, ternyata pasangan tersebut kalah telak.
Kecewanya ya ampun banget! Karpet dan genting yang sudah terpasang indah
dicopoti hingga menyisakan masjid gundul alias tanpa kepala. Miris sekali! Kok ada
mengatasnamakan Tuhan demi kekuasaan dan popularitas. Benar kata Gie bahwa di
kota, Tuhan hanya nama asing yang formal
belaka. Andai kamu masih hidup Gie, slogan itu telah menyublim ke desa-desa
kecil di Wonosari seperti yang kurasakan saat ini.
Ketiga, pasangan yang bijak tentu harus
bisa berkampanye dengan bijaksana pula. Nyatanya? Gigit jari dulu deh. Tidak
sedikit yang memasang umbul-umbul dan potret paslon di pohon. Hello? Katanya
arif? Kok merusak lingkungan? Kalau pohon bisa ngomong mereka bakal teriak,”Aku
tidak akan memilih orang yang melukai tubuhku.” Lho,lho… sebentar. Itukan yang
memasang kadernya bukan paslon, sebuah suara menyelaku. Aku tersenyum. Kalau calon pemimpinnya arif tentu mereka
memiliki cara pengaderan yang lebih baik untuk mendidik para kadernya agar
bersikap lebih bijaksana mana yang patut dan tidak jawabku enteng.
Masih di poin pendidikan karakter.
Kampanye biasanya dijadikan ajang serang dan menyindir pasangan lain. Mereka mengunggulkan
bahwa dirinya paling baik daripada yang lain karena lebih cerdas, lebih
memperhatikan rakyat, dan lebih-lebih yang lainnya. Sementara lihatlah
pendengarmu Pak Bu! Mereka yang katanya simpatisanmu membawa puluhan
anak-anaknya yang nanti akan menjadi generasi masa depanmu. Bapak dan Ibu yang terhormat telah
mengenalkan cara
mencaci dan menyudutkan pihak lain secara terbuka kepada para punggawa yang nantinya
kalian gadang memegang tanah Gunungkidul ini! Sejak kapan anak-anak masuk dalam
daftar peserta kampanye ya? Ah saya lupa tetapi kalau tidak salah ada undang-undang yang menyatakan
pelarangan anak-anak ikut dalam kampanye. Kalau tidak salah loh ya kan saya
sering lupa. Ini juga to yang namanya pendidikan karakter dalam berpolitik?
Lagi-lagi saya lupa.
Kamu anti demokrasi ya? Kamu bisanya
menyerang dan melecehkan pemilu! Suara seseorang di belakangku. Oh, gitu ya. Maaf
ya Mas Mbak, aku bukan antidemokrasi. Aku adalah pendukung fanatik peletakan
demokrasi di negeri ini. Kamu golput ya? Sekali lagi maaf ya Mas Mbak, aku
punya pilihan. Aku hanya menyajikan fakta di sekitar dan sedikit menimbang
bukan berarti aku antipemilu. Catet! Saya mendukung penuh upaya perbaikan di
tanah ini hanya saja cara yang digunakan menurutku perlu dikritisi. Bukan tidak
percaya tapi ada harapan di benakku bahwa pendidikan politik di negeri ini
(Gunungkidul yang sumpah kucintai) bisa dilakukan dengan cara yang lebih arif.
Para calon pemimpin perlu mengingat bahwa saat ini masyarakat tidak terlalu
bodoh ketika ditawari cara-cara kotor yang sungguh melukai harga diri dan
tujuan demokrasi ini.
Hidup suara tidak dibeli!
Hidup pendidikan karakter bernurani!
Hidup demokrasi!
Dan hidup harga diri!
(9
Desember 2015 12:06 waktu Pacing Kidul Pacarejo Semanu Gunungkidul)
Komentar
Posting Komentar