Kepada Profku Dengan Penuh Maaf


Teringat saat kuliah dulu, Prof sering kali mendengungkan nama Minke, Nyai Ontosoroh, dan Mallema yang sekilas kubaca merupakan bagian dari kisah Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Tour. Sebagai mahasiswa aktif yang memiliki stok pembelaan diri dengan banyak tugas ini itu, aku hanya membaca sinopsisnya saja tanpa pernah membaca buku aslinya. Itulah rata-rata cara kami (mahasiswamu) menjawab tugas membuat kumpulan sinopsis novel. Miris memang, terlebih dengan label calon sarjana bahasa dan sastra. Akan tetapi, lagi-lagi ego pembelaan diri muncul dan mengatakan, "Ah, tak mengapa, toh teman-temanku melakukan hal yang sama. Bahkan, kegiatan copy-paste adalah hal yang lumrah bagi siapa saja.Gila sajasatu semester merampungkan 50 novel jadul!!!" Dan sekarang aku merasa sangat bersalah pada Prof yang kucurangi jalan lintasnya.
Semoga selalu sehat, Da...

Prof, anakmu yang kini hampir berkepala tiga baru benar-benar membaca buku yang Prof rekomendasikan 9 tahun yang lalu. Dan jujur, sebagai anak bahasa saya malu. Sangat malu. Saya tertinggal hampir 1 dekade. Sebuah perjalanan pembacaan yang menyia-nyiakan waktu. Terlalu banyak budaya dan pemikiran tajam yang diungkap buku yang terbit pertama 30 tahunan lalu dan masih relevan dibaca di masa sekarang. Sebuah karya anak bangsa yang luar biasa dan akupun menjadi jatuh cinta.

Membaca cerita ini serasa makan es krim di padang rumput. Ces yang krispi. Buku ini tidak hanya bercerita tetapi menyentuh hati para pembaca tanpa mengguruinya. Tidak hanya berkisah, berkeluh, atau mengobral kata-kata klise tetapi buku ini membuat pembaca terpekur dan berpikir menyelami budaya, keadaan sosial, perasaan, dan sikap memanusiakan manusia yang dikonstruksi berlatar sejarah. Buku yang begitu kaya, hingga tahulah aku Prof, kenapa Pram sangat dielu-elukan dunia. Sangat kritis dan perperasaan meski hal itu harus dibayarnya dengan penjara tanpa pengadilan di hampir seluruh hidupnya. Dan kini aku membenarkan kata-kata Prof di halaman pertama bahwa“sastra dapat melembutkan hati”. Maafkan Prof, muridmu yang begitu ketinggalan ini. Malukah engkau memiliki mahasiswa sepertiku? Maaf beribu maaf.

Sejak saat ini aku berjanji untuk lebih menghargai tulisan anak negeri. Untuk lebih mempercayai guru yang lebih berilmu. Dan kelak aku ingin mewariskan hal itu pada anak cucuku. Ah, Prof, anakmu ini tidak terlalu tua untuk menyesal bukan? Dan kalau saat itu bisa terulang aku ingin duduk di bangku terdepan untuk mendengar ceramahmu bukan karena seringnya absen keterlambatanku hingga harus mengambil kursi dan menjadi juru kunci (geli juga mengingat reputasiku dalam hal ini hehe…)


Prof, aku pun berjanji akan lebih menghargai sebuah profesi terutama penulis. Aku pun ingin menjadi seorang penulis seperti Prof. Dan kalian para pembaca yang budiman, belilah buku yang asli. Buku yang diterbitkan penerbit bukan pura-pura demi harga murah semata.Meski isinya sama namun sikap dan penghargaan terhadap karya penulisan haruslah berbeda. Oleh karena itu, mulailah dengan buku yang bernyawa asli bukan beraga asli tapi berhati palsu. (18:42) 

Komentar