Ini juga surel yang kudapati beberapa waktu lalu. Buat kamu yang
telah menuruti keinginanku. Mahal ya? tidak lebih mahal dari isi di dalamnya,
Sayang :-) tapi terima kasih ya.
Katamu tentang buku ini:
Walau saya belum pernah membaca karya Pramoedya sampai tuntas,
namun saya akrab dengan tulisan-tulisannya. Dan sebagai seseorang yang dingin,
saya angkat topi tinggi-tinggi buat Simbah Buru ini. Kata-katanya tajam, menusuk
dan merasuk. Lebih dashyat dari sebutir peluru. Karya Pram bisa menjedor
jutaaan kepala pembaca. Tidak mudah untuk bisa sampai pada titik yang Pram
capai ini. Bahkan untuk genre sejenis, Pram berdiri sendirian, dia menguasai
tahtanya. Tak ada seorang penulis pun yang menyamai
levelnya.
Tapi tulisan ini tidak saya niatkan untuk menyanjung sosok
maestro yang pernah tersandung Lekra dan PKI ini. Saya kali ini hanya
menyenggol sedikit tentang harga bukunya. Selama Pram hidup di zaman smiling
killer General Pak Harto - buku Pram susah didapat. Padahal isinya cuma dalam
bentuk roman realis, bukan buku hujatan caci maki buat orde baru. Setelah Pak
Harto game over, barulah buku-buku Pram menjamur. Dirayakan dimana-mana. Bahkan
beberapa artis yang diragukan kualitas isi otaknya, ikut-ikutan memuja buku
Pram. Tentu ini baik, pasar bisa menerima. Tak hanya dikuasai buku-buku
bullshit tentang agama dan motivasi sampah. Harganya ketika itu juga masih
normal, sama dengan buku-buku lainnya.
Namun ketika Pram sudah tiada, mendadak entah kenapa buku-buku
Pram sangat tidak sopan memasang harga. Tidak lagi lazim. Misal buku Arok
Dedes, buku sejenis umumnya Rp. 85.000 - Rp 95.000, tapi buku Arok Dedes
dipasang Rp. 140.000. Apalagi tetralogi Pram, harganya lebih edan. Dari segi
bisnis, terserah penerbit memang, mau dijual satu juta juga tak masalah, asal
ada yang mau beli. Tapi dari segi pendidikan masyarakat, tentu harga ini sangat
eksklusif. Pram yang berideologi sosialis pasti jengah dengan praktek kapitalis
ini. Masyarakat awam jadi makin susah memiliki. Apalagi negara tidak menjadikan
buku Pram sebagai buku gratis di sekolah-sekolah. Terlebih sebagaimana produk
kapitalis lainnya, buku ini haram dibajak. Dipasang pula larangan untuk
digandakan.
Saya yang bukan sosialis, bukan komunis juga, jika saya menjadi
seorang penulis yg saya tulis, saya membolehkan difotokopi, dan digandakan
semau pembaca. Saya tidak alergi dengan pembajakan. Saya tak ambil pusing
dengan hak cipta. Dan kalau Pram masih ada, mungkin ia satu ide dengan saya.
Sebab hak cipta itu adalah bentuk kesombongan para kaum intelektual, dan
kepentingan kaum kapitalis demi melindungi aset kekayaannya.
Sebagai kesimpulan akhir: karya-karya Pram bukanlah milik
segolongan kaum ekslusif yang punya uang saja. Akan lucu kalau tulisan Pram
berjarak dengan kelas yang dibelanya. Pram berbeda dengan musik jazz atau
basket. Yang lahir dari rahim orang-orang miskin negro, namun dirayakan oleh
orang-orang kaya. Pram bukan artis, beliau adalah orang berideologi sosialis. Pram
tidak hidup di sangkar emas, karya Pram harus dilepas, terbang bebas, kemana
saja, dimana saja, dan kapan saja. Biar makin banyak kepala yang ditembus
kata-katanya, biar bangsa ini tidak melulu otaknya dipenuhi iklan-iklan, dan
khutbah para agamawan yang norak egois berebutan menguasai surga hanya untuk
diri dan golongannya saja.
Komentar
Posting Komentar