Jagongan
wagen tentu bukan istilah yang aneh, malah sering terdengar di mana-mana. Yah,
hampir semua orang tahu bahwa kegiatan ini merupakan event rutin yang
diselenggarakan Padepokan Seni Bagong Kusudjiarja Bantul. Padepokan ini secara
bekala mengangkat berbagai macam kisah yang direfleksikan dalam bentuk seni
pementasan. Dan aku adalah salah satu dari ratusan bahkan ribuan tukang fans
yang sudah akarab sejak 2010. Berbicara
tentang seni tentu tak bisa dilepaskan dari filosofinya. Seni tidak bisa
dipahami sekedar dari bentuk luarnya. Seni adalah imajinasi dan representasi
dari berbagai realitas kemanusiaan baik itu harapan, keadaan sosial, kritik,
maupun berbagai fenomena alam dan manusia.
Jagongan
wagen (JW) bagiku selalu menyediakan ruang ublik yang bisa dinikmati oleh
siapapun dan kalangan manapun. Penontonpun bervariasi tidak terbatas usia mulai dari anak-anak hingga aki nini. Bahkan,
anak muda pun tak kalah antusias. JW sendiri bagiku bukan sekedar nonton
pertunjukan tetapi di dalamnya mengetengahkan dialog dengan setiap jiwa yang
mengikutinya. JW selalu memberikan oleh-oleh untuk kubawa pulang dan
kuceritakan pada teman-teman. Itulah yang membuatku merasa menikmati seninya
hidup yaitu bahwa seni itu tidak hanya dinikmati dan selesai tetapi ada gethok
tular yang bisa menjadi peranti pengejawantahan nilai-nilai yang lebih luas.
Hal
yang menarik dari JW adalah tema yang diangkat setiap bulan selalu up to date. Bervariasinya tema yang
dikemas dalam berbagai kolaborasi seni seperti seni musik, tari, lukis, drama,
kerawitan, dan lain-lain merupakan kombinasi yang membuat atmosfer JW semakin
berwarna. Para penonton digiring dalam sebuah cerita tetapi dibiarkan untuk
menafsirkan sendiri korelasinya. Di sinilah seni menjalankan peran dan fungsinya
sebagai sarana yang memberikan ruang yang tak terbatas bagi tiap insan untuk
berkontemplasi. Sebagai pecandu seni, JW adalah salah satu bukti seni untuk
rakyat, yaitu bisa dinikmati semua kalangan tanpa membedakan status. Semua bisa
menikmati tanpa perlu memikirkan retribusi tiket masuk layaknya pertunjukan
seni yang digelar di gedung-gedung budaya. Bukankah seni juga merupakan salah
satu produk budaya yang selayaknya bisa dinikmati rakyat banyak tanpa memandang
klaster? Bukankah setiap orang memiliki kesempatan yang sama dalam menikmati keindahannya?
Komentar
Posting Komentar