Dua malam ini saya sulit tidur. Lebih
tepatnya tidur dengan gelisah. Lampu yang kupadamkan pun tak cukup membantu
resah yang semakin njlimet dengan goyah. Bahkan, malam sebelumnya saya
terbangun pukul 2 dini hari karena bermimpi gigi taringku tanggal (padahal gigi
taringku tidak pernah memenuhi standar secara bentuk).
Pagi buta teleponku berdering dan muncul
nomor baru. Antara ya dan tidak kuangkat saja nomor asing tersebut. Bla bla
bla... "Aku ke sana sekarang," kataku mengakhiri pembicaraan. Tanpa sempat
mandi, aku bergegas menuju rumah Ibu. Ya, bagiku. Ibu, yang tidak biasa. Seorang
ibu yang memerankan posisi penting dalam sejarah kelulusan pendidikanku. Dan
hari ini beliau berpulang. Melambaikan tangan pada segenap anak cucu, kepada orang-orang
yang pernah beliau santuni, dan juga pada para ribuan pencicip rasa yang
melegendakan namanya. Beliaulah Bu Tini, lengkapnya Sutini Hadi Santoso.
Bagi sebagian orang sosok Bu tini tentu sudah
tak asing lagi. Sedikit aku ingin bernostalgia bersama kenangan 4 tahun ke
belakang.Tak dapat dipungkiri, selama dekat dengan beliau, banyak hal dan
pelajaran yang kuperoleh. Bagiku yang tentu masih kencur dalam banyak hal, beliau
adalah sosok yang ngayomi dan penuh
kasih sayang. Kerja keras, penuh semangat, pantang menyerah, sikap legowo lan narimo, dan bersedekah sosial
adalah beberapa hal dari ribuan hal yang kucatat kuat dalam ingatan.
4 tahun 5 bulan bukan waktu yang singkat
untuk mengakrabi dunia pekerjaan yang saya geluti sebelumnya. Bahkan, dari
dunia perhotelan ini aku mengenal banyak karakter manusia yang bertipe a hingga
z. Dan tentu itu atas kebaikan Bu Tini dan keluarga. Di saat kekosongan waktuku
menyelesaikan skripsi, aku diperbolehkan bergabung dengan Hotel Respati Kasih.
Dinamika yang terjadi di dalamnya pun tak luput dari berbagai sorotan hingga tak
terasa studi tesisku selesai. Aku merasa sangat bersalah pada Pak Denny Kakung
yang sering kali harus meng-handle
kerjaanku karena kutinggal kuliah. Dalam hal jadwalpun aku diberi kelonggaran
waktu mengingat jadwal kerja menggunakan sistem shif. Sering kali aku harus mendebatkan
waktu kuliah dan kerja yang tidak selalu sinkron dan jadwal kerja karyawan
harus berubah hampir tiap minggu. Terlebih sebagai satu-satunya perempuan di
hotel yang harus fighter juga
menyisakan banyak konflik yang kadang memang menguras hati dan pikiran. "Wong
akeh bedo-bedo pikirane Mbak. Aku gur pengen kabeh iso lancar. Anak, putu, lan
karyawan bebarengan. Sek sabar lan
ditelateni," kata-kata Ibu yang selalu menguatkanku saat lelah
sudah di ujung mata.
Bu Tini adalah satu di antara para pejuang
keluarga yang belajar dari kenyataan. Usahanya dimulai dari berjualan ayam
goreng di Pasar Bringharjo. Seiring berajalannya waktu usaha tersebut berkembang
hingga saat ini (26-an tahun) telah memiliki hotel dan resto terkenal di
Yogyakarta. Tentu bukan hal yang mudah mendapatkan semua itu. Butuh proses yang
begitu panjang. Usaha ini pun berjalan semakin maju dan permintaan ayam semakin
meningkat. Biasanya Bapak-Bapak tukang becaklah yang mengantarkan ayam tersebut
ke rumah untuk diolah. Akan tetapi, lama-kelamaan permintaan yang terus
meningkat membuahkan usulan untuk membawa ayam-ayam tersebut dengan pick-up. Lebih efisien memang tetapi Bu
Tini keberatan jika semua diangkut menggunakan pick-up. Kenapa? Sebuah alasan sederhana sebagai orang Jawa, "Pae becak kui wes melu awae dewe ket
jaman mbiyen. Nek kabeh pitik diangkut nganggo pick-up lha Pae Becak rep kerjo opo?"
(Bapak tukang becak itu sudah ikut kerja dengan kita sejak lama. Kalau semua
ayam diangkut menggunakan pick-up, Pak Tukang Becak mau kerja apa?" Saya
trenyuh saat mendengar cerita ini. Ibu begitu peduli dengan nasip Pak Tukang
Becak yang bukan siapa-siapanya. Tentu hal ini menunjukkan rasa empati terhadap
kemanusiaan. Saya jadi teringat kata-kata seorang teman "sejauh apapun engkau
berlayar, jangan pernah lengah membuang sauh dan jangkar. Mungkin padanya kita
dapat belajar, mungkin darinya kita bisa lebih mendengar, dan darinya kita dapat
menghargai laut secara lebih sopan".
Setiap kali lebaran dan di momen sungkem,
seringkali saya tak dapat menahan air mata ketika tangan Ibu mendekap erat dan mengatakan,
"Maaf Mbak Ridhan nek wong tuwo akeh
salahe." Rasanya sebagai orang yang lebih muda, aku merasa lebih
berkewajiban untuk meminta maaf. Bahkan, di sela-sela bercandaan, ketika saya
sowan ke rumah, beliau selalu bilang, "Mbak
Ridhan kapan nikah? nek nikah jo lali diundang yo. Aku mesti teko. Adoh ra to
Semanune?" Dan saat mengetik tulisan ini tak henti air mata mengenang
Ibu. Bahwa ibu tak akan pernah lagi menyaksikan saya menikah. Ibu tak akan
pernah menerima undangan saya. Ibu tak akan menyaksikan saya menggandeng suami
saya. Namun, setidaknya suatu waktu dulu saya pernah mengenalkan dia ke Ibu, di
pertemuan terakhir di suatu siang yang terik. Kiranya ibu merestui kebersamaan
kami.
Terakhir, pada pukul 13 ini saya mengiring
kepergian ibu dengan doa. Doa terbaik atas segala hal yang ibu ajarkan pada
saya. Meski saya tak sempat mengantar ke pusara, lantunan Al-Fatihah akan
mengudara di dalamnya. Selamat jalan Ibu, selamat kembali bersanding dengan
kekasih tercinta, Pak Kiman. Semoga Allah melapangkan dan menyematkan tempat
yang layak untuk Ibu. Semoga apa yang telah ibu perjuangkan dalam perjalanan
ini menjadi barokah buat semuanya, buat keluarga, buat tetangga, dan buat
masyarakat seutuhnya.
#Salam hormat
buat Ibu. Maaf belum sempat menjenguk ketika di rumah sakit.
Komentar
Posting Komentar