Dari sebuah pengalaman kita bisa
berkisah. Dan darinya setidaknya kita bisa belajar bahwa hidup itu harus penuh
ketangguhan. Diadaptasi dari kisah nyata, kali ini aku ingin bertutur pada
kalian.
Namaku Ganesthi. Usia 20-an dan aku sudah tidak lajang. Sedikit aku ingin
bercerita. Aku tak berharap belas kasihan, aku hanya ingin kalian mengerti dan
menghindari yang tak perlu dilakukan. Karena itu telah kulakukan.
Setiap orang pasti punya orientasi. Termasuk cemburu. Bukan sekedar pada
pasangan, pada rekan kerja, kadang sama burung yang terbang bebas saja kita
bisa cemburu. Pada apa? pada kebebasannya mungkin. Suatu hal yang sangat sulit
dimiliki manusia dan tak akan bisa (memang begitu takdirnya). Dan itu yang saat
ini hinggap di hatiku. Aku cemburu pada bunga yang merekah dengan hebat, aku
cemburu pada angin yang bertiup damai, dan aku cemburu pada masa lalu yang
begitu manis terlihat, pada stomata dedaunan yang siap menangkap cahaya
matahari. Dan terlebih, pada hari ini karena aku tak bisa menemuimu. Entah
alasan apa yang kau sodorkan padaku kecuali,"Dia sakit dan aku tak
tega." Sekali lagi aku harus berurusan dengan masa lalunya. -Nya (dia yang
sekarang jadi suamiku).
Dari sisi sosial aku tak pernah diajari untuk membiarkan orang lain
kesakitan memang. Akan tetapi yang dilakukan oleh Karen (wanitu itu) sungguh di
luar dugaan. Dia terlalu cerdik dan licik. Bagaimana tidak? aku harus selalu
mengalah pada semua kemauannya hanya karena suamiku pernah bersamanya di masa
lalu. Dan yang lebih mengherankan adalah waktuku selalu menjadi lebih sedikit
dan tampak tak masuk akal. Terlebih setelah kelahiran bayi yang sulit kusebut
tidak manis itu. Jadi begini nasipku sekarang. Sementara status pernikahanku
yang di bawah tangan juga tak membuahkan hasil apapaun. Aku sadar betul tak ada
yang bisa kutuntut padanya. Karen istrinya! dan aku? hanya istri siri! tidak
lebih.
Sebulan ini pekawinan kami berjalan abnormal. Seperti pada awalnya ketika
kami berpacaran. Setiap kali panggilan dari Karen datang aku merasa semacam
barang sisa yang tiada berguna. Ini memang menyakitkan. Teman-temankupun tak
henti-hentinya memberiku nasihat tetapi ragaku rasanya terlalu sederhana untuk
mencerna cara-cara pelarian yang akan memiskinkanku. Fasilitas dari orang tuaku
dan hasil kerjaku berupa kendaraan, tabungan, ATM, dan bermacam atribut
pekerjaanku diserobot olehnya. Bagiku awalnya mungkin ini yang namanya cinta.
Tetapi lama-kelamaan tubuhkupun tak mampu lagi menderma rasa. Biru lebam,
pukulan, cekikan, bekas cakaran adalah hal yang biasa mengisi perkengkaran
kami. Hanya air mata yang tertumpah tanpa aku bisa melawan. Aku terlalu takut
orang-orang yang kusayangi akan mendapatkan kabar buruk tentangku. Aku terlalu
menyayangi ayah, mama, dan kakak-kakakku.
Memang kuakui aku salah memutuskan menikah terlalu dini dengan kesadaran
penuh bahwa suamiku tidak bercerai dengan Karen. Tapi saat itu aku memiliki harapan
akan cinta kami yang bisa bertumbuh dan indah. Makin kesini kutemui bahwa cintanya
hanyalah obralan bullshit yang tak berharga. Nyatanya perlakuan kasar dan
tindakan amoral sering kuterima. Mungkin tubuhku memang sudah tak ada harganya,
tetapi di hatiku masih terbit cukup rasa cinta untuk menyelesaikan pendidikan
di kampusku. Meski begini aku juga ingin tak mengecewakan ayah dan mamaku. Dan
dari mereka kututup semua cerita pahitku.
Saat pelarianku, aku hanya ingin menghilang sejenak dari hiruk-pikuk
penonton yang sering memandangku negatif karena tato yang menghiasi tubuhku dan
cekung mata yang tak mampu menahan sendu lebih lama. Aku sudah tak peduli pada
banyaknya orang yang heboh mencibirku dengan berbagai bujuk rayu dan obralan
murahan. Aku hanya ingin selamat. Dan hidup lebih lama.
*Memilukan tetapi sebagai wanita yang
cerdas
seharusnya kamu tahu bagaimana bertindak tegas
dan bangkit
dari keterpurukan.
Komentar
Posting Komentar