PASAR KOTAGEDE PASARE AWAKE DEWE

         
                "Piro, Kang sewungkus?" tanya seorang ibu paruh baya berkerudung.
            "Limang ewu sewungkus isi jadah 4 tempe 3," jawab seorang bapak yang sejak tadi sibuk membuat cetakan jadah.
            "Ora limangewu isi papat papat?"
            "Kui wes murah, Yu. Isih panas asli saka Kaliurang," jawab Si Bapak melanjutkan.
            "Ya wis, 3 bungkus wae."

Percakapan di atas adalah salah satu petikan yang lumrah ditemui di pasar-pasar tradisional. Sebuah tempat yang di dalamnya menyediakan ladang bagi seni tawar menawar harga. Kadang untuk mendapatkan harga yang murah, penjual dan pembeli harus saling mengadu kepintaran negosiasi sehingga tercapai kata sepakat. Tentu hal ini tidak ditemui di pasar modern yang telah mematok harga pas bagi setiap barang yang dijual.

Bagi Suprih, bapak dua orang anak yang berjualan di Pasar Kotagede, pasar adalah salah satu tempat keluarganya bergantung. Sudah 4 tahun ini beliau berjualan jadah tempe di Pasar Kotagede. Pada sore hari kurang lebih pukul 5, beliau dan istrinya datang menyusuri padatnya lalu lintas Jogja demi sebuah harapan keluarga. Bahkan, Suami istri ini tidak pernah libur berjualan meskipun hari besar. Meskipun ketika hujan maka pelanggannya berkurang dan harus pulang sampai malam, profesi ini tetap ditekuni oleh suami istri yang berasal dari Kaliurang ini. Lain halnya ketika cuaca cerah maka sepasang suami istri inipun dapat pulang lebih awal karena biasanya 10 kg jadah ludes dalam waktu 3-4 jam.

 Uang kebersihan yang dipungut kepada para pedagang di Pasar Kotagedepun terbilang cukup murah, yaitu Rp 500 setiap jualan sehingga total perbulan hanya Rp 30.000. Salah satu yang menjadi pegangan Bapak Suprih adalah tidak mengambil untung terlalu banyak dan selalu menjaga kualitas dagangannya. Hal inilah yang menjadikan jadah tempe Pak Suprih laris manis dan selalu ditunggu para pembeli.

Seperti diungkapkan di awal, sebenarnya seni tawar menawar ini memiliki teknik tersendiri. Agar calon pembeli bisa mendapatkan harga di bawah harga yang disampaikan penjual maka kedua pihak harus saling bernegosiasi terlebih dahulu. Salah satu cara ampuh yang biasanya diterapkan setelah pembeli menawar dengan harga tertentu dan penjual masih merasa keberatan lakukan satu hal, yaitu pura-pura pergi. Biasanya teknik ini cukup ampuh untuk membuat Sang Penjual luluh. Namun, apabila ketika sudah ditinggal pergi dan Sang Penjual tidak memanggil berarti harga yang ditawar pembeli terlalu rendah. Itulah salah satu trik belanja di pasar tradisional. Selain menguatkan hubungan emosial antara pembeli dan penjual, interaksi negosiasi ini akan mendekatkan hubungan kekerabatan para pelaku ekonomi di pasar. Keuntungan lain berbelanja ke pasar tradisional adalah tersedia produk-produk segar yang harganya jauh lebih murah dibanding di pasar modern.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pasar adalah pusat perputaran roda ekonomi masyarakat. Pasar Kotagede atau yang dikenal dengan Pasar Legi merupakan pasar tertua di Yogyakarta. Pasar yang terletak di timur laut Masjid Besar Mataram Kotagede ini memang lebih ramai di pasaran legi (pasaran Jawa). Hal inilah yang membuat masyarakat menyebut pasar ini sebagai Pasar Legi. Selain menjual berbagai kebutuhan masayarakat mulai dari bahan pangan, pakaian, kerajinan, onderdil barang-barang bekas (khusus malam hari), barang-barang kerajinan, kuliner/jajanan khas seperti kipo dan yangko, pasar ini juga menawarkan berbagai objek menarik lain. Apabila Anda penggemar  berbagai jenis burung dan tanaman hias, pasar ini juga menjual hewan-hewan peliharaan seperti burung dan tanaman di sisi barat pasar, ikan hias disebelah selatan pasar, dan sisi timur pasar dapat ditemui penjual berbagai jenis unggas.

Di sisi lain, problema pasar tradisional dari zaman dahulu tetap sama. Salah satunya tumpukan sampah di beberapa lokasi, munculnya genangan air apabila hujan selesai mengguyur, serta aroma khas pasar yang tidak biasa. Meskipun begitu pasar ini tidak pernah sepi pengunjung. Dapat dikatakan Pasar Kotagede adalah pasar yang hidup hampir 24 Jam. Ketika pagi hari, pasar dijejali oleh para pedagang kebutuhan sehari-hari dan sayuran. Ketika menjelang sore, barang daganganpun sudah berganti menjadi pusat jajanan lauk dan camilan. Uniknya, seni tawar-menawar dan aroma khas pasar inilah yang sering kali malah menjadi daya tarik bagi para pelanggan untuk berbelanja ke pasar.

Beraneka macam barang kebutuhan yang dijual di pasar Kotagede ini menjadikan pasar ini layak disebut sebagai miniatur 4 pasar besar, yaitu Pasar Giwangan yang merupakan sentra pasar buah dan sayur, Pasar Bringharjo yang merupakan pasar terbesar dan terlengkap di Yogyakarta, Pasar Klitikan yang merupakan pasar khusus penjualan barang-barang bekas, dan Pasar Phasty yang merupakan sentra penjualan tanaman hias dan hewan peliharaan.

Pasar Kotagede juga memiliki nilai historis tersendiri sejak zaman kerajaan Mataram. Hal ini dikarenakan pasar ini telah menjadi pusat ekonomi sejak zaman lampau. Lokasi pasar ini pun cukup strategis, yaitu di Jalan Mondorakan nomor 140B yang terletak di utara Masjid Kotagede yang hingga kini tetap ramai diziarahi para pengunjung.

Jadi, dapat dikatakan dengan mengunjungi dan berbelanja di Pasar Kotagede berarti telah melakukan serangkaian perjalanan yang lengkap baik secara historis, ekonomi, dan sosial. Para pembeli bukan saja sekedar mencari berbagai kebutuhan tetapi lebih dari itu, yaitu menjadi bagian dari interaksi pasar tradisional dan pengalaman ini patut dicoba siapa saja. Termasuk Anda para pembaca. (16/4/rd)




Komentar