Dalam sebuah rumah tangga yang dihuni
oleh lebih dari satu keluarga memang cenderung lebih sering menimbulkan gesekan
karena konflik kepentingan. Hal ini tentu tak dapat dihindarkan karena setiap
orang memiliki pemikiran yang berbeda-beda. Dalam kasus sederhana, misalnya
dalam hal pola pengasuhan anak. Si Ibu inginnya pendidikan anak dengan pola
begini, Si Kakek-Nenek lebih condong yang begini karena sudah dari zaman dahulu
turun temurun. Perbedaan ini seringkali juga menimbulkan kegaduhan-kegaduhan
kecil antar orang tua, anak, saudara, maupun mertua. Bukan menghakimi ya, tapi sebagian besar
orang tua masih terfokus mengasuh anak dengan gaya memerintah dan keras. Kalau
gak begitu ya gak!. Pokoknya tak beda macam tentara. Padahal hal tersebut
sangat bertentangan dengan pola asuh yang baik.
Seorang anak harusnya diberi
kebebasan untuk memilih tetapi harus diberi contoh untuk bertanggung jawab. Misalnya
saja membiasakan anak untuk membuang bungkus makanan ke tempat sampah sendiri,
merapikan mainan, makan dan memakai baju sendiri sejak kecil, dan lain
sebagainya. Terlalu memanjakan anak dengan selalu melakukan segala hal untuknya
mulai dari menyuapi, memandikan, mengambilkan makan, membereskan makanan malah
bisa membunuh kreatifitas dan sensitifitas anak untuk bertanggung jawab
terhadap dirinya sendiri. Mungkin hal ini tidak akan bermasalah selama ada yang
mengurusi dan tidak membuat ribet malah proses mandi dan makan akan berlangsung
dengan cepat. Akan tetapi, bagaimana jika dalam suatu kondisi Si Anak tidak ada
lagi yang mengurusi? tidak ada lagi yang memandikan atau menyuapi karena usia
atau kondisi fisik tertentu? Tentu anak akan menjadi syok yang terbiasa apa-apa
disediakan harus melakukan sendiri. Bahkan, dia bisa jadi bersikap kasar, anarkis, berteriak-teriak, dan sebagainya. Dari hal di atas, kita dapat mengambil satu benang merah bahwa menerapkan pola pendidikan kemandirian
sejak dini merupakan sebuah keharusan bagi orang tua.
Dalam banyak kasus, janganlah orang tua memaksakan anak
sesuai dengan kehendak hatinya apalagi malah menghakimi dengan kata-kata yang
kasar. Hal-hal yang melukai hati semacam ini akan menancap di hati dan terekam oleh pikiran
anak. Ibarat seseorang yang memaku tembok dengan paku, meskipun sudah dicabut
pakunya tapi bekasnya masih terlihat jelas. Begitu pula dengan hati manusia,
sekali dia disakiti maka dia akan sulit melupakan meski dia mudah memaafkan. Begitulah kurang lebih kira-kira
perumpamaanya. Jadi, belajar menjadi orang tua yang bijak memang tidak mudah
tapi akan lebih susah ketika memetik hasil dari benih yang tidak dirawat
daripada bibit yang disiangi dan disiram setiap hari bukan? Dalam kasus semacam
ini sebaiknya peran bapak ibu untuk memberikan pengertian dan pengetahuan
kepada orang tua sangat penting. Di sisi yang satu mungkin pihak kakek-nenek tidak
tahu hal semacam itu akan memiliki imbas atau memang dasar watak karakternya
yang memang begitu. Nah, untuk poin yang terakhir ini sebaiknya orang tua
memang menyediakan benteng khusus untuk bersikap baik dalam menjelaskan ke anak
maupun pendekatan ke orang tua. Harapannya tentu dapat menyinergikan
kesepahaman pola asuh antara orang tua dan kakek-nenek dalam memberikan
nilai-nilai pendidikan karakter yang positif pada anak. Sebagai orang tua sudah
merupakan kewajiban dan fitrahnya untuk memberikan pendidikan sikap yang baik
bagi anak, janganlah bersikap leleh
luweh terhadap pendidikan anak apalagi menyerahkan pada orang lain karena
kesibukan kerja.
Mari memulai hal baik dari keluarga, dari rumah terkecil kita.
Komentar
Posting Komentar