Seikat Cerita dari Bukit Amaris


Sebagai salah satu destinasi yang terbilang baru sejak kemunculannya tahun 2015 di Gunungkidul, Kosa Kosa (Bukit Amaris) semakin diminati masyarakat. Hal ini terbukti dari tingginya animo masyarakat yang berkunjung ke bukit ini, terutama kaum pelancong muda. Sebenarnya Kosa Kora itu letaknya dimana? dan mengapa begitu diminati? Mari kita simak ulasan berikut.

Kosa kora merupakan salah satu bukit yang terletak di Pantai Drini. Di sekitar pantai kalian akan menemukan petunjuk arah yang menunjukkan lokasi Kosa Kora. Sebenarnya jalur menuju bukit ini dapat ditempuh dari berbagai arah, baik melalui Pantai Drini naik ke timur maupun melewati jalur khusus menuju Kosa Kora.

Untuk menikmati keindahan pemandangan alam dari atas Bukit Kosa Kora setiap pengunjung harus membayar Rp. 2.000/orang sebagai tanda retribusi kebersihan. Hati-hati ya, tangga naik menuju bukit ini cukup tinggi. Selain itu, medan yang dilalui cukup terjal sehingga pengunjung perlu ekstra hati-hati. Bongkahan batu dan kemiringan medan yang cukup ekstrim menjadikan rute menuju Bukit Kosa Kora semakin menantang. Akan tetapi, trek alam semacam inilah yang saat ini digilai oleh anak muda. Sebagai generasi millenia sebagian besar dari mereka adalah penyuka tantangan dan pencari sesuatu yang baru dan bukit yang masih perawan ini merupakan salah satu jawabannya.

Di kiri-kanan jalan menuju Bukit Kosa Kora, pengunjung akan melihat tulisan Amarie hill/private hill. Tulisan inipun memiliki sejarah tersendiri. Bukit Kosa Kora sebenarnya merupakan tanah Sultan Ground (SG). Bukit yang memiliki luas tidak lebih dari seperempat lapangan sepak bola ini terbagi dalam 2 kepemilikan. Selain Sultan Ground di bagian selatan, bukit ini sudah dibeli oleh insvestor yang bernama Nyonya Amarie. Bahkan, jalan menuju tepian Kosa Kora melewati lahan Nyonya Amarie. Bukit Kosa Kora awalnya dimiliki oleh keluarga Mbah Jiyem. Kemudian, lahan yang terdiri dari 3 gunung ini dijual kepada Nyonya Amarie sebesar Rp 50.000.000 pada tahun 2005. Sejak saat itu kepemilikan lahan inipun berpindah dari keluarga Mbah Jiyem ke Nyonya Amarie. Akan tetapi, hingga saat ini Mbah Jiyem diberi kepercayaan oleh pemilik lahan untuk mengelola lokasi tersebut. Seiring berjalannya waktu dan banyaknya pengunjung yang berminat berwisata ke tempat ini membuat Mbah Jiyem terdorong untuk berjualan makanan dan minuman di atas bukit tersebut. Konflikpun muncul. Masyarakat setempat yang melihat frekuensi pengunjung yang meningkat dari waktu ke waktu tidak mau berpangku tangan. Merekapun membentuk Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) untuk meng-handle pengunjung yang menikmati keindahan Bukit Kosa Kora. Kelompok inipun sering kali beradu argumen dengan Mbah Jiyem. Apalagi alasannya kalau bukan kepentingan perut/ekonomi. Kelompok ini merasa memiliki hak atas wilayah Kosa Kora sebagai lahan Sultan Ground yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

Sementara di sisi lain Mbah Jiyem yang diberi kepercayaan untuk mengelola lahan tersebut tetap keukeuh untuk berjualan di bukit tersebut. Bahkan, jika malam minggu/hari libur Mbah Jiyem beserta suami dan anaknya akan menginap di atas bukit tersebut karena banyak pengunung yang melakukan camping. Seringkali Mbah Jiyem dan anaknya diisengi oleh oknum-oknum warga yang tidak menyukai keberadaan Mbah Jiyem di Kosa Kora. Beberapa cara yang dilakukan oleh warga seperti mendiskriminasikan Mbah Jiyem dengan tidak mengundang saat rapat Pokdarwis, mencuri dagangan Mbah Jiyem, merusak tempat dagangan, mengotori lingkungan tempat jualan maupun mempengaruhi pengunjung agar tidak membeli makanan/minuman ke Mbah Jiyem. Teror ini sudah berlangsung hampir 2 tahun akan tetapi Mbah Jiyem tetap konsisten untuk berjualan di lokasi tersebut.


Fenomena pemenuhan kebutuhan perut dengan menggasak ruang lingkup/hak orang lain sudah biasa terjadi dalam kehidupan masyarakat saat ini. Konflik yang hampir serupa juga pernah terjadi di Goa Pindul yang menghebohkan publik beberapa waktu yang lalu. Pemerintah dan masyarakat selayaknya dapat membangun sinergi yang positif guna menjaga alur destinasi agar tetap ramah publik tetapi tidak mengurangi eksistensi masyarakat dalam memperoleh pendapatan (diskriminasi ekonomi). Sikap egosentris masyarakat pun perlu disoroti lebih mendalam agar tidak menimbulkan gontokan-gontokan yang dapat memecah-belah masyarakat itu sendiri. Selain itu, sebagai masyarakat baru yang saat ini ibaratnya digojlok secara instan untuk menyapa para pecinta wisata memang memerlukan kesiapan ekstra. Lagi-lagi masyarakat dan pemerintah ditantang untuk selalu berubah dan berbenah menghadapi perubahan yang semakin cepat dari waktu ke waktu. Gunungkidul yang saat ini menjadi primadona pariwisata di Yogyakarta memang sedang menjadi soroton publik (hits) sehingga perlu disikapi secara lebih arif dengan konsep perencaan dan pengembangan yang lebih matang terutama dari segi SDM-nya. Itulah sekelumit reportase yang tertunda sejak 2015 yang lalu. Harapannya, pariwisata Gunungkidul ke depan dapat dijadikan sebagai salah satu ajang destinasi wisata ramah publik yang berequivalensi dengan pendapatan masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat pun meningkat.

Komentar