Cerita ini merupakan salah satu
kisah yang mengusung tentang asal-usul Sendang Beji dan Sendang Mole. Kedua
sendang yang terkenal ini terletak di Parangrejo, Desa Girijati, Purwosari
Gunungkidul.
Sendang ini saat ini berfungsi
sebagai penampung atau sumber air di wilayah Purwosari. Bahkan, sendang ini
sudah ditalud sepanjang 20 meter dengan lebar bagian hilir 6 meter dan lebar
bagian hulu 13 meter. Selain sebagai penampung air, sendang ini sudah
dilengkapi dengan tempat peristirahatan, mushola, dan kamar mandi. Di tempat
ini juga terdapat 4 tempat pemujaan yang biasanya digunakan untuk ritual-ritual
tertentu. Biasanya pada bulan Suro, yaitu pada hari Jumat Legi di tempat ini
biasa dilakukan upacara nyadran.
Di daerah Jepitu terdapat sebuah
keluarga yang sangat miskin. Bahkan, karena terlalu miskin untuk makan saja
susah. Keluarga ini terdiri dari empat orang, yaitu Kyai Soka dan istrinya
serta kedua anaknya yang bernama Guru Soka dan Andan Sari. Kemiskinan terasa
semakin menjerat setelah pasangan Kyai dan Nyai Soka menikah dan berlanjut
hingga kedua orang anaknya lahir. Selain sulit untuk mencukupi kehidupan
sehari-hari, keadaan keluarga ini juga sangat memprihatinkan. Hal ini memaksa
Kyai Soka untuk bekerja lebih keras dari biasanya. Meskipun sudah bekerja keras
tampaknya keadaan keluarga ini tidak kunjung membaik hingga akhirnya Kyai Soka
memutuskan untuk melakukan ritual bertapa guna mencari wangsit agar terbebas
dari kemiskinan tersebut. Hingga pada suatu hari, pergilah Kyai Soka menuju
hutan untuk mencari tempat pertapaan. Diapun meminta izin kepada istri dan
kedua anaknya.
"Nyai,
hidup kita rasanya semakin hari semakin susah. Buat mkan saja sulit apalagi
untuk hal-hal yang lainnya," keluh Kyai Soka di suatu sore.
"Benar
adanya, Kyai. terlebih sejak kita menikah dan kedua anak kita lahir. Rasanya
dada ini semakin sesak saja. Apa salah kita,Kyai?"
"Tak
perlu Nyai menyengsarakan batin menyesali segala yang terjadi. Inilah laku yang
harus dijalani."
"Apa
maksud Kyai? Akankah Kyai meninggalkan kami?" tanya Nyai Soka kaget.
"Hanya
sementara, Nyai. Sampai wangsit datang untuk kita. Laku prihatin ngatetepno raga pilihan yang paling baik
saat ini Nyai," kata Kyai Soka dengan lemah lembut.
"Baiklah,
Nyai. Apabila itu sudah menjadi keputusanmu maka kuhantarkan dengan segenap doa
agar Sang Hyang Widi memberi wangsit baik untuk keluarga kita."
Setelah dialog tersebut, pergilah
Kyai Soka melakoni laku batinnya. Dari suatu tempat singgahlah dia ke tempat
lain hingga bertahun-tahun. Hujan, panas, dan dingin adalah sahabat terbaiknya
sepanjang waktu. Hingga akhirnya Kyai Soka menemukan sebuah tempat pertapaan
yang puncak bukit. Di tempat inilah Kyai Soka bertapa selama bertahun-tahun
hingga rambutnya memutih dan jenggotnya melebat.
Sementara itu, Nyai Soka dan kedua
anaknya mulai disergap khawatir dan rindu kepada ayahnya. Akhirnya mereka
bertiga memutuskan untuk mencari keberadaan ayahnya. Kendati tak mengetahui
dimana keberadaan Sang Ayah, mereka bertiga berjalan dengan penuh keyakinan untuk
bertemu dengan ayahnya. Perjalanan panjang pun dimulai. Kekhawatiran dan
kecemasan pada seorang ayah yang tidak memberi kabar bertahun-tahun membuat
ketiga orang ini rela diuji badai panas dan hujan yang mengguyur kulit tanpa
ampun.
Di tengah keputusasaan yang
menyerang, terdengarlah sebuah suara yang sangat halus ketika mereka tiba di
sebuah bukit. "Sudahlah, jangan cemaskan aku. Mulai hari ini kalian
tetaplah menunggu di tempat ini. Akulah yang akan mencari sandang dan pangan untukmu
dan kedua anak kita." Nyai Soka dan kedua anaknyapun bingung dengan
munculnya suara misterius tersebut karena tak tampak seorangpun di sekitar
mereka. Hanya hutan belantara yang mulai terang karena matahari sudah meninggi.
Setelah suara tersebut menghilang lalu muncullah sosok laki-laki berkain putih
yang tak lain adalah Kyai Soka. Tanpa menunggu aba-aba kedua anak yang
terpalang jarak bertahun-tahun inipun memeluk ayahnya. Pertemuan inipun tak
dapat dihindarkan menyisakan keharuan yang luar biasa. Rasa rindu yang terbendung
akhirnya melebur dalam sebuah pertemuan yang hangat. Tempat pertemuan ini
akhirnya diberi nama Sendang Sureng (surating
srenenge) yang artinya pertemuan di sebuah sendang pada siang hari yang
menyenangkan. Sendang ini mencerminkan terhapusnya rasa sedih dan berganti
menjadi rasa bahagia. Di sendang inilah akhirnya keluarga Kyai Soka bermukim
dan beranak-pinak.
Sementara itu dalam kehidupan
selanjutnya, Kyai Soka meminta kepada kedua anaknya untuk berkelana menjelajahi
wilayah berikut menghitung jumlah semua sendang yang ada di Gunungkidul. Apabila
sudah diketahui jumlahnya maka mereka harus tinggal di sendang hitungan
terakhir dan satu hitungan sebelum sendang berakhir. Titah dari ayahanda tak
urung menimbulkan kesedihan yang luar biasa bagi kedua anaknya. Setelah sekian
lama berpisah dan belum genap sebulan bersama tapi harus meninggalkan kedua
orangtuanya. Hal inipun sempat membuat perdebatan yang cukup pelik dalam
keluarga tersebut.
"Sudah
saatnya kalian berdua ngangsu kawruh di
tanah luar. Belajar mengenal dunia dan menuliskan kebaikan untuk sebanyak
mungkin manusia," kata Kyai Soka.
Mendengar
titah Sang Ayahanda Guru Soka dan Andan sari terdiam sekian lama. Mengetahui
kedua anaknya tidak menjawab maka Sang Ayahpun meneruskan.
"Bukan
tanpa alasan kalian harus memulai langkah ini. Kita terlahir dari keluarga yang
tidak banyak kelonggaran kekayaan. Terlebih, semakin hari dunia ini semakin
menuntut kita tetap urup. Ojo wedi
kekurangan, ilmu yang akan menyelamatkan,"
Kyai Soka meneruskan.
"Sepertinya
ini terlalu cepat, Ayahanda. Belum sebulan kita sekeluarga kembali
berkumpul," jawab Guru Soka hati-hati.
"Kalian
belum lagi dua puluh. Usia yang cukup untuk mencari kekuatan yang bermanfaat untuk
kehidupan kalian," lanjut Sang Ayahanda.
Andan
Sari dan Nyaipun mulai menangis. Terbayang perpisahan sudah kembali menanti di
depan mata. Setelah sekian lama bergumul dalam perasaan yang menyesakkan,
akhirnya kedua anak Kyai Sokapun mengamini titah ayahnya untuk ngangsu kawruh.
"Hitunglah
jumlah semua sendang yang kalian temui di daerah ini. Menetaplah engkau Soka di
sendang terakhir dan kamu Andan Sari di satu sendang sebelum sendang terakhir.
Itulah tempat yang terbaik bagi hidup kalian," kata Kyai Soka mengakhiri
pembicaraan.
Pagi harinya berangkatlah kedua anak
Kyai Soka memulai petualangan untuk menghitung sendang yang ada sesuai perintah
Sang Ayahanda. Setelah melalui perjalanan panjang, diketahui bahwa jumlah
sendang yang ada di wilayah tersebut sebanyak 31 buah. Pada waktu itu untuk
menyebut angka 31 dipakai istilah beji.
Kata beji sendiri berasal dari kata behji.
Di sendang inilah akhirnya Guru Soka menetap selamanya. Sementara itu, Andan
Saripun menempati Sendang yang berdekatan dengan saudaranya yaitu Sendang Mole.
Demikianlah akhir dari perjalanan
panjang kedua putra Kyai Soka. Sendang yang berdampingan ini merupakan bukti
cinta anak kepada orang tuanya. Salah satunya yaitu dengan mengikuti perintah
dari orang tuanya. Rasa cinta yang mendalam kepada orang tua inilah yang
akhirnya membawa kedua anak Kyai Soka hidup dalam keberkahan meskipun dahulunya
sangat miskin. Keluarga Kyai Sokapun dipercaya mengalami kajiman (menjadi gaib) atau tidak terlihat yang dalam bahasa
sanskerta biasa dikenal dengan moksa.
*) Dipetik dari buku Sejarah Kumpulan Cerita Rakyat Gunungkidul
oleh Dinas Kebudayaan Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar