Sejak kuliah, aku dan Paus sering melahap buku di kedai ini.
Kadang serius menelisik jurnal-jurnal, menghabiskan remah roti, kadang beradu
argumen yang tidak berbobot bahkan mengomentari setiap orang yang lewat hingga
jalanan kembali sepi. Sang pemilik pun tampaknya maklum dengan kami dan pasrah
jika kami tak lekas beranjak meski kedai sudah lama tutup. Jika sudah begitu
maka ide berbaik hati menutup tirai, merapikan meja menjadi agenda kami dengan
bonus secangkir kopi. Dan itu saat pertama aku
melihatnya.
Dia...kukenal sebagai Jim. Entah benar atau tidak itu namanya.
Yang jelas dia tetap manusia. Dan... menarik. Cukup tinggi, tidak terlalu
berotot, dan ya... sedikit menggemaskan kurasa.
Waktu itu kedai belum buka tetapi aku tetap bertahan malas di kursi
depan. Dia, yang kusebut Jim, melewatiku dengan sebuket kembang mawar. Aku
pura-pura tidak memperhatikan toh aku juga tak mengenalnya.
Sejam kemudian dia kembali. Mengambil kursi di samping mejaku
dan memesan kopi. Terlalu pagi bagiku memesan minuman yang sama jadi kuputuskan
secangkir teh hangat dan kue kecil sebagai temanku.
"Lia...," seseorang memanggil.
Tak ada seorangpun di sampingku kecuali...
"Aku punya cerita yang lebih baik dari bukumu,"
katanya sambil menarik kursi di sampingku.
"Kurasa aku tak mengenalmu,"jawabku sedikit ketus.
"Memang tidak. Tapi kamu memperhatikanku sejak di ujung
toko," jawabnya seraya tersenyum seolah berhasil menangkap siswa yang
mencontek.
"Maksudku, bagaimana kamu tahu namaku? Aku tidak pergi
dengan plakat nam..."
"Ber-aku kamu saat obrolan pertama?" potongnya sambil
tersenyum.
"Oh, maaf, Mas."
"Ini tiket kita. Kutunggu jam 6 sore ini," katanya
sambil meninggalkan 2 lembar tiket di mejaku.
Aku mulai gagu dan tak terkontrol.
***
"Bebas, Lia?" suara Paus mengalihkan mataku dari
jurnal yang kupegang.
"Sedikit
tidak," jawabku datar tanpa menoleh.
"Jadi... sekiranya kalau aku boleh tahu, apa rencanamu
dengan..." matanya menyipit ke arah lembaran tiket di mejaku.
Aku
mengangkat bahu dan menghela napas. Paus yang sejak lahir tercipta dengan
insting penasaran langsung menarik tiket itu.
"Lia,
menurutku mestinya kamu berbaik hati. Filmnya tidak terlalu buruk dan jam enam
sore masih sangat aman untuk gadis di bawah tiga puluh," katanya sok
diplomatis. Saran itupun diakhiri dengan senyum kecil tersungging di sudut
bibirnya.
"Berapa
harga suap untukmu Mister Paus? Semacamnya Anda telah berganti jabatan menjadi
penasehat akhir-akhir ini!" jawabku.
"Hanya
jika kau mau, Lia" katanya sambil meletakkan tiket dan meninggalkan
mejaku. Bayangannya hilang di balik pintu. Dan kini aku dibayangi oleh
sarannya.
***
Hujan merambat turun dan aku belum mampu menguasai perasaan yang
tiba-tiba muncul. Seperti kehadirannya sore ini.
"Rasanya
baru kemarin ya kita tak ketemu. Ternyata sudah tiga purnama berlalu. Masih
hangatkah kalau aku bilang rindu?" tanyanya.
"Cinta yang tak bersama itu asik, "lanjutnya memecah
kesunyian. Aku terhenyak dan sedikit mengenyitkan dahi. Tidak bersama? Asik?
"Bagaimana tidak? Yang tidak bersama selalu menyajikan
teka-teki," lanjutnya sambil mengerlingkan matanya ke arahku.
Aku ingat betul kerlingan itu. Sedikit demi sedikit aku mulai
membaca alur pikirannya.
"Semacam kisah yang belum tuntas ya..." jawabku
berusaha menerka.
Dia tersenyum. Manis. Lalu menjadi sangat manis. Dimainkannya
butiran hujan yang jatuh di meja tempat kami memesan kopi. Dipandanginya
percikan air yang mulai membasahi tangannya.
"Lia, aku kangen."
Deg. Sebuah frase yang cukup lama mengambang di otakku. Mungkin
juga hatiku. Ehm, ini... semacam terlalu spontan.
"Apa pendapatmu, Lia?" tanyanya sambil meraih tanganku.
***
Komentar
Posting Komentar